Senin, 25 Desember 2023

KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKU

 


Penulis: Ani Anisah
Alhamdulillah, pembangunan tempat usaha baru kami sudah berjalan lima puluh persen, benar kata orang-orang. Kalau ada uang, pasti semuanya berjalan dengan cepat dan lancar.
Setelah cukup puas melihat hasil kerja para tukang, kami pun pamit pulang. Tidak lupa beberapa lembar uang merah Mas Ridwan serahkan kepada salah satu dari mereka. Untuk membeli makanan dan minuman supaya mereka lebih semangat lagi untuk bekerja.
_____
"Tadi aku ketemu Tika, dan aku mengundangnya untuk makan malam bersama dengan kita," ucapku sembari mencuci buah dan menatanya dalam tempat buah.
"Tika?" Kening Mas Ridwan tampak berlipat heran saat menyebut nama Tika, aku mengangguk dan beralih mencuci wortel dan sayuran lainnya.
"Apa Tika di sini bersama suaminya?" Aku berbalik badan melihat Mas Ridwan.
"Sepertinya, iya, Mas. Kamu tahu sendiri kan, kalau aku tidak pernah bertatap muka dengan teman kepercayaanmu itu? Tapi ... mungkin saja si Jhoni itu ada di sana," ucapku sambil duduk di samping Mas Ridwan.
"Kalau iya, kok Jhoni tidak mengabari kalau dia ada di Jakarta? Perasaan kemarin dia masih di Bandung. Sebentar, Mas telpon dulu Jhoni nya, masa iya, dia meninggalkan restoran begitu saja." Mas Ridwan mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. Lalu meng-klik nomor teman kepercayaannya itu.
"Aku ke depan dulu," pamitku pelan sambil beranjak dari tempat dudukku.
"Sultan memang menantu terbaik dan tajir! Yuhuuu motor baru!" Suara yang sudah tidak asing lagi di telingaku, siapa lagi kalau bukan Tante Dira. Entah apa yang membuatnya seheboh itu sekarang?
"Ha-ha, ada-ada saja tingkah Tante Dira, apa tidak sakit tenggorokannya teriak-teriak begitu?" Rindu terkekeh geli sambil menutup gorden.
"Biarin lah, Tante Dira lagi bahagia, mungkin berteriak adalah caranya untuk mengungkapkan kebahagiaan," ucapku dan menyibak sedikit gorden untuk melihat kebahagiaan Tante Dira.
"Kalian lihat ini, ini baru namanya menantu yang hebat dan tajir, mertua minta apa saja pasti dibeliin tanpa memikirkan berapa harganya, beda dengan menantu yang di situ, atap rumah mertua hampir roboh saja tidak diganti-ganti, kelihatan sekali kalau hidupnya susah!" ejak Tante Dira. Dapat kulihat matanya melihat ke arah rumah ibuku yang sengaja kami tutup pintunya.
Tante Dira berbicara keras, biar semua tahu kalau dia dibeliin motor sama menantunya. Anehnya, mulutnya itu seperti tidak pernah berhenti untuk mencela keluargaku.
"Bikin naik darah mendengarnya, 'kan? Heran banget sama sikap semua saudaranya Ibu, kalau Rindu jadi Ibu, sudah Rindu jual rumah ini dan pergi jauh dari sini!" omel Rindu dengan wajahnya yang terlihat sangat kesal.
"Rumah ini satu-satunya peninggalan Ayah kita, banyak kenangan di dalam rumah ini, Kakak tidak setuju kalau sampai rumah ini dijual," ucapku membuat wajah Rindu semakin cemberut.
"Kapan, ya? Hidup damai, tentram, nyaman di rumah sendiri, tanpa mendengarkan ejekkan dari saudara Ibu lagi," kata Rindu sambil menghidupkan layar ponselnya.
"Setelah rumah Ibu di renovasi, Kakak jamin, suara jangkrik pun tidak akan kedengaran lagi, sabar saja ya? Sekarang, bantu Kakak masak, yuk?"
"Rindu sudah tidak sabar menunggu rumah ini di renovasi, Tante Dira pasti akan sangat kepanasan melihatnya nanti. Untung-untung Tante Dira dapat bonus stroke karena kepanasan melihat orang renovasi rumah, kebayang kan, gimana wajahnya nanti?"
"Hi-hi-hi, kita lihat saja nanti." Aku dan Rindu terkekeh geli karena membayangkan wajah Tante Dira yang masam saat melihat kebahagiaan saudaranya yang selalu disebut madesu ini.
"Ibu-ibu, lihat ini, bagus kan motor saya, menantu saya baru membelinya hari ini, lebih bagus dari motornya anak janda itu, kan? Ya, jelas lah, bagus! Menantu saya itu konglomerat, yang punya perusahaan di mana-mana, beda sama menantu yang itu!" Lagi suara Tante Dira melengking tinggi mengejek ibuku.
"Jangan diladeni, ayo, kita masak saja." Aku menarik lengan Rindu dan membawanya ke dapur. Suara Tante Dira terdengar mengecil setelah kami berada di dapur.
"Bikin kesal saja!" gerutu Rindu.
"Orang seperti itu bagusnya jangan dibalas dengan emosi, karena mereka akan semakin senang melihat kita emosi. Kita main cantik saja, kita buat mereka kebakaran rambut karena melihat kita bahagia."
______
"Tadi, sepulang dari sekolah, Ranti melihat Kak Dwi sudah ada di rumahnya, saat Ranti sapa Kak Dwi hanya diam saja," ungkap Ranti.
"Mungkin, Kak Dwi tidak melihat dan tidak mendengar sapaanmu, besok Kak Jelita akan pergi ke rumahnya,"
"Sahabatmu yang baru melahirkan itu?" tanya Mas Ridwan.
"Iya, Mas, besok kita ke sana lagi ya?" Mas Ridwan mengangguk menanggapi.
Tok!
Tok!
Tok!
"Itu pasti Tika, biar Kak Jelita yang buka pintunya," ucapku saat Rindu akan melangkah ke depan.
"Assalamualaikum!"
"Wa'alaikumsallam!" Aku menjawab salam sambil berjalan menuju pintu utama.
"Hai," sapa Tika saat aku membuka pintu lebar-lebar.
"Silakan masuk,"
"Terima kasih,"
"Sama-sama, ini anak kamu?" tanyaku sambil mengelus kepala anak laki-laki dan perempuan yang aku perkirakan sudah berumur tujuh tahun. Mereka berdua pun menyalami tanganku.
"Iya,"
"Kembar?"
"He-he, tidak kok, mereka berjarak satu tahun, ini Denis dan ini Devi, kelihatan kembar ya, kan?"
"Iya, aku pikir mereka kembar tidak identik lho, ayo, masuklah."
Kami berjalan beriringan menuju dapur.
"Malam, Pak Ridwan," ucap Tika, Mas Ridwan menanggapi dengan seulas senyum.
"Jhoni tidak ikut? Kenapa nomornya tidak aktif?" tanya Mas Ridwan.
Tika tampak menghela nafas panjang. "Sudah satu bulan terakhir ini, Mas Jhoni tidak pulang ke rumah kami, Pak," jawab Tika.
"Kita makan dulu, nanti kita lanjutkan lagi obrolannya." ucapku, dan duduk di samping Mas Ridwan.
"Iya, silakan dimakan, Nak Tika, jangan malu-malu," kata Ibu menawarkan makanan pada Tika dan kedua anaknya.
_______
"Ada yang ingin saya tanyakan kepada, Pak Ridwan," ucap Tika. Tika langsung berbicara sesaat kami semua sudah selesai makan dan mencuci tangan di kobokan.
"Apa yang ingin kamu tanyakan? Tanyakan saja," sahut Mas Ridwan sambil mengelap mulutnya menggunakan tisu.
Tika tampak diam seraya menunduk sejenak, lalu mendongak kembali menatapku dan Mas Ridwan bergantian.
"Maaf, kalau saya lancang, ini menyangkut masa depan anak-anak kami juga," ucap Tika dan kembali menunduk lagi.
Ada apa dengan anak ini? Bikin aku penasaran saja mendengarnya.
"Kita duduk di ruang depan saja, biar enak ngobrolnya," ajakku, dan bangkit dari kursi meja makan.
Seperti biasanya, Ranti dan Rindu akan langsung berkemas membereskan dapur dan mencuci piring kotor sebelum mereka tidur malam.
Setelah duduk di ruang keluarga. Aku pun meminta Tika untuk berbicara dengan jelas, tanpa membuat teka-teki yang membuatku dan Mas Ridwan bingung.
"Ga-gajinya Mas Jhoni kapan dibayar? Maaf," ucap Tika. Aku dan Mas Ridwan saling melempar pandangan. Gaji apa yang sedang dibicarakan Tika?
"Gaji? Gaji apa yang harus saya bayar?" tanya Mas Ridwan, Mas Ridwan sama bingungnya denganku. Walau aku tidak terlalu ikut campur soal gaji karyawannya. Tapi, aku tahu kalau Mas Ridwan pasti menggaji semua karyawannya tepat waktu di tanggal dua lima.
"Bicara lah, Tika, jangan bikin kami berdua kebingungan," kataku, kulihat wajah Tika menegang dan terlihat sangat cemas.
"Bukan nya, gaji Mas Jhoni sudah lima bulan belum dibayar?" tanya Tika.
"Hah? Maksudnya gimana? Lima bulan saya tidak menggaji Jhoni, begitu?" Respons Mas Ridwan jelas sangat terkejut. Bahkan, Mas Ridwan sudah berdiri dari duduknya.
"Kata Mas Jhoni, usaha Pak Ridwan berada di fase sedang tidak baik-baik saja, bahkan kata Mas Jhoni, beberapa restoran milik Pak Ridwan juga sudah tutup karena sudah gulung tikar. Bukan tanpa sebab saya menanyakan hal ini, Pak, anak-anak saya tahun ini sudah harus daftar sekolah, sedangkan uang simpanan kami sudah habis untuk biaya berobat dan menutupi kebutuhan kami lima bulan terakhir ini."
"Cerita kan lagi, kami ingin mendengar yang jelas sejelas-jelasnya," ucap Mas Ridwan saat Tika menjeda ucapannya.
"Kebetulan saya tidak sengaja bertemu dengan istrinya, Pak Ridwan, kemarin. Jadi, saya ingin menanyakan langsung tentang gajinya kapan bisa dibayar? Janjinya akan dibayar di bulan kemarin, tapi ini sudah mau dua bulan belum dibayar, totalnya lima bulan belum dibayar," terang Tika kembali sambil menunduk.
Aku masih belum paham dengan ucapannya.
"Saya mau tanya, apa mertuamu masih berada di rumah sakit sekarang?" Mas Ridwan kembali duduk sambil mengatur nafas agar dirinya tidak emosi.
"Tidak, mertua saya sudah meninggal dari tujuh bulan yang lalu," sahut Tika.
Fakta kali ini sangat mengejutkan Mas Ridwan. Mas Ridwan meraih air botol minuman dan meminumnya sampai habis.
"Astagfirullah, apa lagi ini? Dua bulan yang lalu Jhoni meminjam kembali uang dua puluh juta, katanya untuk biaya berobat ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit, dan kemarin dia kembali ingin meminjam uang lagi, tapi saya tidak memberinya, asal kamu tahu Tika, setiap gajinya tidak pernah saya potong hutang-hutangnya yang sudah hampir seratus juta pada saya," jelas Mas Ridwan.
"Seratus juta? Untuk apa Mas Jhoni meminjam uang sebanyak itu? Dan ke mana gajinya selama ini?" Tika terkejut mendengar nominal uang yang sudah dipinjam suaminya.
Aku ingin menjawab, mungkin saja Jhoni sudah berselingkuh. Bisa saja kan? Laki-laki kalau sudah banyak uang pasti lupa diri. Mudah-mudahan Mas Ridwan tidak termasuk dalam golongan laki-laki yang lupa diri.
"Jadi, Pak Ridwan tidak tahu? Kalau mertua saya sudah meninggal?" tanya Tika.
"Sama sekali tidak tahu," jawab Mas Ridwan.
"Duh, kepala saya jadi sakit, ternyata, Mas Jhoni sudah banyak berbohong mengenai uang pinjaman dan uang gajinya," ucap Tika sambil memijit pelipisnya. Kasihan sekali melihatnya.
"Pandai sekali Jhoni bermain peran, ke sana bilangnya begini, ke sini bilangnya begitu, setiap gajian selalu minta full karena istrinya akan meminta cerai kalau gajian hanya sedikit, sudah di kasih kepercayaan malah membuatku geram dan ingin menendangnya!" geram Mas Ridwan.
"Apa kamu tidak curiga, Tika? Kalau suamimu ada main lain gitu, punya simpanan gitu?" ucapku, aku menutup mulut setelah mengatakan itu. Wajah Tika langsung memerah setelah mendengar ucapankku.
Aduh! Apa aku sudah salah bicara?
BERSAMBUNG...
Cerita ini sudah tamat di aplikasi KBM App.
Nama pena : anisah1797

Tidak ada komentar:

Posting Komentar