Sabtu, 03 Juni 2023

Misteri Rumah Sangit

 Rumah Sangit



MISTERI RUMAH SANGIT

“ Masuknya diundang, pamitnya dilarang”

Saya hendak menyelamatkan sahabat saya yang akan dikorbankan keluarganya lewat pesugihan kepada iblis, tapi ternyata itu hanya jebakan untuk mengorbankan diri saya sebagai tumbal iblis.


Misteri Rumah Sangit Episode-1: Mencari Sahabat yang Minta Tolong

Rumah Sangit


Ini pengalaman hidup saya pada tahun 2019, yang tidak pernah saya harap akan terjebak mengalaminya begini… Hidup saya saat itu seperti mimpi buruk… Mimpi buruk yang masih menghantui saya sampai hari ini…

Saya berharap sore itu harusnya tetap diam saja di rumah. Saya berharap sore itu terus saja belajar untuk lulus kuliah, di kamar saya yang hangat dan nyaman. Namun, sore itu saya malah pergi ke rumah teman kuliah saya, namanya Wening.

Pada sore itu, lewat aplikasi chatting Wening tiba-tiba mengirim sebuah video ke saya… Satu video mengerikan yang waktu itu membuat saya nekad menempuh perjalanan jauh dari rumah saya ke alamat rumahnya yang saya ketahui berada di daerah Patahan.

Wening: Tolong… Saya akan dikurung di kerangkeng… akan dikorbankan!!
Jangan!! Jangan!! Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning,
Nang, Ning, eu!!”


Dalam video itu, Wening tampak sangat ketakutan, dan anehnya… dia malah menyanyikan lagu kanak-kanak yang misterius itu keras-keras, sebelum kemudian videonya berhenti.

Saya: Ning, aku ke rumah kamu sekarang!!

Maka, sore itu saya tiba dan berdiri di depan pintu rumahnya. Saya cuma tahu alamat rumahnya yang pernah Wening bilang, tapi belum pernah ke rumahnya sebelum ini… Tadi di tengah jalan setelah masuk daerah Patahan, saya sempat kebingungan… Untung tadi saya berpapasan sama seorang ibu yang bisa menunjukkan jalan ke rumah keluarga Wening. Barusan saya sudah mengetuk pintu rumah ini, tapi tidak ada jawaban…

Saya hendak mengetuk pintu depan ini sekali lagi. Kalau masih tidak ada jawaban, saya mau pulang saja… Tapi, tiba-tiba pintu di hadapan saya itu dibuka dari dalam.

Seorang pria gagah dalam balutan kemeja dan celana berwarna putih menyambut saya. Pakaiannya agak kotor, seperti baru saja melakukan pekerjaan berat. Raut wajahnya sangat mirip dengan Wening, dan saya pernah diceritakan juga kalau Wening memang punya kakak kembar, namanya Wenang. Pria yang sekarang berdiri di hadapan saya ini.

“Cari Wening, ya?” Wenang tersenyum dan bertanya dengan sopan.

“I-iya… Cari Wening… Ada?” Saya menjawabnya dengan gugup.

“Ada,” jawab Wenang. “Silakan masuk…”

Harusnya saya pulang… Harusnya saya pulang saja… Tapi sore itu saya malah melangkah masuk ke rumahnya.

Ruang tamunya dipenuhi aroma wangi bunga sedap malam, yang suka tercium di kampus… yang suka tercium tiap kali saya bersama Wening di kampus… Memang ada sebuah vas penuh batang bunga sedap malam di atas meja di ruang tamu ini, dan di sebelahnya ada sebuah radio tua.

Radio tua ini mengalunkan siaran berita dari posisinya di antara deretan figura foto keluarga, yang berisi wajah Wening, Wenang, dan ibu mereka. “…Dilaporkan banyak keluarga diduga terlibat dalam pesugihan, yang mengorbankan orang-orang terdekat kepada iblis. Sehingga menyebabkan banyaknya laporan orang hilang…”

Tangan Wenang tiba-tiba menurunkan volume siaran radio itu, dan lanjut berkata, “Silakan lewat sini…”

Wenang menunjuk sebuah pintu di ujung ruangan, yang sepertinya menghubungkan untuk masuk ke ruangan lainnya di rumah ini.

“Oh, iya…” Mengangguk demi kesopanan, saya pun mendekat ke pintu itu.

Wenang membukakan pintu itu untuk saya. “Wening ada di kamarnya. Kamu bisa lewat sini, sekalian bertemu teman-temannya dulu…”

Saya tidak mengira kalau ada teman-teman Wening lainnya yang juga sedang ada di rumah ini. Saya pikir, bagus juga kalau lagi ramai…

“Iya, Kak…” Saya lantas melangkah melewati ambang pintu yang dibuka Wenang. Tapi, ruangan itu gelap, “Kak, lampunya masih mati…”

Satu tangan Wenang masih memegangi kenop pintu, sementara satunya lagi bergerak menyalakan lampu. Ruangan ini pun menyala, meski lampunya remang-remang. Ternyata ini sebuah gudang… Gudang yang penuh dengan tumpukan pakaian berdarah!!! Aromanya bau gosong dan amis menyengat!!!

Seketika Wenang menutup pintu di belakang saya, dan menguncinya. Saya gemetar ketakutan, dan spontan menjerit sekuat tenaga. “HEY!! WENANG!! KENAPA DIKUNCI?! TOLOOONNGG…!!! WENANG, KELUARKAN SAYA DARI SINI!!!”

Saya menggedor-gedor pintu di belakang saya. Tapi, Wenang masih menguncinya. Hanya terdengar suara Wenang dari balik pintu. “Silakan menunggu jadi tumbal berikutnya…”

Misteri Rumah Sangit Episode-2: Menembus Gudang Darah Teman

Rumah Sangit


“TOLOOONNGG…!!” Saya menggedor pintu masuk gudang ini. Saya sangat menyesal masuk sini. Terlebih saya marah pada Wenang yang menjebak saya di gudang berdarah ini!

Tempat apa ini?! Kenapa rumah mereka menyimpan pakaian bekas mayat?! Apa maksudnya ini semua teman-teman Wening?! Mereka menjebak saya di sini?! Apa Wening sengaja menjebak supaya saya ke rumahnya ini?! Saya enggak mau mati di sini!!

Di dalam gudang ini sungguh bau sekali… Bau gosong dan bau darah… Penuh tumpukan pakaian seperti bekas mayat… dan ada juga sebuah kursi goyang yang bersimbah darah di antara tumpukan pakaian ini…

Saya takut sekali… Saya tidak mau bernasib begini… Saya tidak mau hanya tinggal pakaian saya yang berdarah di sini… Saya tidak kuat, ingin muntah… Ingin pergi dari sini!! Saya tidak mau mati di sini!!

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Saya menyadari, ada suara seseorang menyanyikan lagu misterius ini di sini.

Dekat celah pintu yang terbuka di seberang sana… Ada seseorang… Ada seseorang yang meringkuk dalam kegelapan gudang ini… Seseorang yang meringkuk, dengan kedua tangan terpasung di pundaknya!!
Pandangan saya pun menangkap adanya sebuah pintu kayu yang tampak sedikit terbuka di seberang saya… Kalau pintu di belakang saya ditutup dan dikunci, mudah-mudahan pintu di seberang itu bisa jadi jalan keluar saya!!

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Sosok manusia yang meringkuk dengan pasung kayu mengunci kedua tangannya di pundak ini betul-betul sedang menyanyikan lagu misterius itu! Kenapa?!

Pelan-pelan saya bergerak menyusuri dinding, menghindari tumpukan pakaian berdarah dan gosong dengan kursi goyang di tengah gudang. Sepanjang dinding ini pun ada banyak pakaian berdarah yang tergantung… Seolah semua pakaian ditinggalkan tubuh manusianya menguap begitu saja.

Banyak juga pakaian yang menempel di atas saya, sudah tidak ada tubuhnya tapi tetap meneteskan darah… Pakaian siapa ini?! Sungguh mengerikan!! Apa yang mereka lakukan di sini?! Pembantaian di rumah Wening?!

“Nang, Ning, Ning, Nang…” Sosok manusia berpasung kayu itu tiba-tiba berhenti membisikkan nyanyian, dan matanya melirik saya…

Saya terkesiap keras, saking kaget jadi seperti memutus napas saya sendiri. “Halo?” Saya coba memanggilnya, sambil terus mendekat.

“NANG, NING, NING, NANG, NING, EU!!!!!!!!” Sosok manusia berpakaian gosong dan berdarah dengan pasung kayu ini tiba-tiba melompat, bangkit, dan mengejar saya.

“AAARRGGHHHH!! TOLOOONNGG!!” Rasa takut mencabik-cabik jiwa saya dengan dahsyat. Saya spontan berlari menghindari manusia terpasung itu, berputar ke arah yang berlawanan.

“TOLOOONNGG!!” Saya terus menjerit sambil menghindar, tapi terjatuh dan mendarat di tumpukan pakaian berdarah yang bau gosong ini.

Panik, saya buru-buru bangkit. Namun, tubuh saya malah terjebak dan jadi seperti berenang di tumpukan pakaian bau gosong dan berdarah ini. Sementara manusia mengerikan yang menyerang saya juga terus berusaha mendekat dan menyerang saya.

Saya mau menyerah!! Saya tidak mau mati gara-gara dia!! Saya tidak mau mati di sini!! Saya harus terus mendekat ke pintu keluar yang terbuka itu…

Saya terus menjerit sekuat tenaga, mengharapkan bantuan, entah dari siapa. Sambil saya terus bergerak keluar dari tumpukan pakaian mengerikan ini, dan menggapai ke arah celah pintu yang terbuka di sana.

Seketika saya menyadari celah pintu itu sudah sangat dekat. Segera saja saya melompat keluar dari tumpukan pakaian dan menggapainya.

“Tolong… Tolong…” Tak disangka, manusia mengerikan berpakaian gosong dalam pasung kayu berdarah yang mengejar saya itu berkata minta tolong.

Saya sudah di ambang celah pintu keluar itu, dan menatapnya. Siapa dia? Apakah… teman Wening? Seperti kata Wenang, ada temanteman Wening di sini… Tapi, kenapa teman Wening begini tersiksa…??

“MATIII!!!” Tiba-tiba manusia berpasung mengerikan ini menggeram keras dan berlari menyerang ke arah saya.

Tanpa pikir-pikir lagi, saya keluar lewat celah pintu yang terbuka ini dan langsung menutup pintunya lagi. Saya spontan mengunci juga pintu ini, agar manusia mengerikan yang terpasung itu tidak bisa mengejar saya, dan terkunci di gudang pakaian berdarah ini selamanya.

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Saya sudah keluar dari Gudang Pakaian Berdarah tadi… Kini saya sadari, di ruangan yang baru ini saya mendengar adanya nyanyian misterius ini lagi…

Hanya saja nyanyian yang ada di ruangan berikutnya ini bukan dari seseorang yang menyanyikannya seperti di gudang tadi… Namun, lagu di sini keluar dari pengeras suara, seperti sengaja diputar keras-keras.

Saya belum tahu guna lagu itu untuk apa… Tapi yang kemudian saya ketahui, dan ternyata yang lebih mengerikan lagi, adalah jalan di hadapan saya sekarang ini diapit oleh sel-sel penjara yang berisi Demit Peliharaan…

Misteri Rumah Sangit Episode-3: Menyusuri Penjara Demit Peliharaan

Rumah Sangit

Wening suka menceritakan kisah-kisah horor. Pernah suatu hari di kampus ia bercerita bahwa di daerah Patahan, tempat rumah orang tuanya berada, banyak yang memelihara demit. Katanya untuk membantu manusia yang ingin cepat mendapatkan obsesinya melalui ritual pesugihan kepada iblis.

Akhirnya saya teringat dan menyadari, ternyata cerita Wening tentang pesugihan di daerah rumah orang tuanya itu nyata terjadi di keluarganya. Di depan saya sekarang ada lorong yang diapit oleh dua barisan penjara, isinya makhluk-makhluk bertampang mengerikan dengan tubuh dan taring yang seperti terbuat dari api membara. Anehnya, Demit-demit Peliharaan ini tampak tenang dalam sel penjara mereka masing-masing, sama sekali tidak terganggu oleh saya yang barusan masuk ke lorong di tengah penjara mereka. Anehnya juga saya merasa aman, asal mereka tidak menyerang…

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang…” Suara nyanyian misteris yang terdengar mengalun dari pengeras suara dalam area penjara ini tiba-tiba berhenti.

Saat itu juga, saya menyaksikan Demit-demit Peliharaan mengaum dan melolong keras. Saya spontan menjerit, dan melangkah mundur… Menyebabkan kaki saya menginjak lantai kayu yang berderit keras. Karenanya Demit-demit Peliharaan ini sekarang menoleh kepada saya.

Panik, saya balik badan dan berusaha membuka pintu kayu asal saya masuk barusan… Tapi, pintu itu juga telah terkunci. Satu-satunya cara saya untuk pergi adalah harus terus lari… melalui deretan penjara Demit Peliharaan ini…

Saya lambat laun menyadari, apakah lagu misterius tadi membuat makhlukmakhluk gaib ini diam dan tenang?? Jadi, saya harus menyanyikannya?!

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu~” Tidak ada salahnya mencoba, maka saya pun pelan-pelan menyanyikannya, mengikuti nada yang saya dengar.

Guncangan tubuh Demit-demit Peliharaan tampak berkurang, seakan tidak lagi berusaha kabur dari penjara gaib mereka. Saya yakini, saya harus terus menyanyi sambil berjalan ke ujung ruangan ini.

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu~ Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu~” Suara nyanyian saya semakin keras, dan langkah saya semakin cepat. Suara lantai kayu yang berderit terdengar semakin keras seiring lari saya.

Namun nyatanya, Demit-demit Peliharaan dalam penjara memang jadi tidak lagi memperhatikan saya. Nyanyian ini seperti mantra magis yang fungsinya untuk menenangkan iblis…

Di tengah jalan, saya betul-betul merasa lelah bernyanyi dan berlari… Nyanyian saya terhenti… dan seketika Demit-demit Peliharaan mengaum, melolong, juga semua menatap kepada saya sambil mengguncangguncangkan sel penjara mereka.

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu! Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu!” Saya buru-buru menyanyi lagi, dan berlari menggunakan sisa-sisa tenaga.

Saya terus berlari… terus bernyanyi… Deretan penjara bebatuan penuh Demit Peliharaan ini seolah tidak ada ujungnya. Saya nyaris menyerah…

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Suara saya semakin pelan… Namun, kemudian saya melihat ada pintu kayu di ujung ruangan.

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Tiba-tiba suara nyanyian misterius dari pengeras suara pun keluar lagi. Jadi, saya tidak perlu lagi menyanyi sendiri… Lagu misterius itu sudah membuat Demit-demit Peliharaan tenang kembali.

Saya pun bisa leluasa segera membuka pintu kayu itu, dan melompat memasuki ruangan yang baru. Menyandar di pintu kayu yang telah saya kunci kembali ini, napas saya terputus-putus, dada saya terasa sesak… Saya menjerit sekuat tenaga, dan menangis melepaskan ketakutan. “AAAAAAAAAAAAAGGGRRRHHH!!”

“Sudah bertemu dengan Wenang?” Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan tua dari tengah ruangan gelap ini.

Saya tersentak, kaget. Tapi kini lampu ruangan ini menyala, dan saya lebih takut lagi, karena apa yang saya lihat di sini…

Saya berada di sebuah dapur dan ruang makan berwarna-warni. Nuansanya sangat kontras dengan ruangan-ruangan gelap dan mengerikan sebelumnya, yang penuh pakaian mayat juga Demit Peliharaan. Di sini banyak makanan hangat dan minuman segar di atas meja makannya, dan pada kursi makan di balik meja itu duduk seorang perempuan tua… Ibunya Wening dan Wenang

Misteri Rumah Sangit Episode-4: Menemui Keluarga Sahabat Pesugihan

Rumah Sangit


Saya bergeming di pintu, dan merasa nyaris pipis di celana. Ruangan ini tampak manis dan hangat, tapi saya takut sekali. Pengalaman buruk saya dengan kematian dan iblis di rumah ini membuat saya tidak bisa berpikir baik tentang ibu ini. Terlebih, ibu ini adalah perempuan tua yang tadi saya temui di tengah jalan ke sini… Ibu yang berpapasan dengan saya dan menunjukkan rumah keluarga Wening ini…

“Ayo, ke sini, ‘Nak…” Ibu Wening memanggil saya untuk duduk bersamanya mengelilingi meja makan itu. Saya diam saja. Saya bahkan tidak sudi mendekat ke meja makan
tempatnya berada…

“Kamu ke sini cari Wening, ya?” tanya ibunya lagi. Saya gemetar hebat, bukan main takutnya.

Ibu Wening tampak tersenyum dan berpenampilan rapi, dengan sikap menyambut hangat, tapi saya tidak yakin ibu ini manusia atau bukan… Kalaupun ibu ini manusia… manusia macam apa yang mengurung iblis, demit, dan membantai manusia di rumahnya?!?!

“Wening biasanya enggak ada di rumah yang ini, karena ini Rumah Sangit, rumah ritual. Tapi, sekarang dia sedang ada di sini. Saya panggilkan Wening, ya…” kata Ibu Wening, suaranya halus tapi membuat tubuh saya sungguh lemas saking ketakutan.

Tiba-tiba ruangan ini tidak lagi berwarna-warni, melainkan berubah menjadi hitam, seperti gosong… Hawanya sangat panas dan bau gosong, dengan tulisan yang bermunculan pada dinding… Banyak angka “1.999” dan dibalik menjadi “666.1” berwarna merah terang muncul pada dinding, seperti ditulis oleh api membara…

Seketika terdengar suara sudut dinding yang didobrak keras!!! Wenang muncul, tetapi wajahnya… wajahnya berubah!! Wajah Wenang kini menyerupai monster… atau iblis?! Wajahnya berubah menjadi sangat mengerikan, dan menyeringai lebar. Wenang masih dalam balutan pakaian putihnya yang kotor, tapi sisi kanan bajunya sekarang dilumuri darah segar!!!
Darah siapa itu?! Darah Wening??!!

Wenang menjilat darah yang menetes-netes dari tangannya, lalu mengelapkan sisa darah di tangannya itu ke bagian dada kanan bajunya. Saya kemudian menyadari, satu tangan Wenang menggenggam tali yang menggantungkan sebuah pasung kayu… dengan ada satu potongan tangan manusia yang masih terpasung!! Apa jangan-jangan… potongan tangan itu…
dan darah itu… adalah dari teman Wening yang disekap di gudang tadi?!!

Di sudut ruang makan ini yang barusan dindingnya ia dobrak, Wenang lantas duduk bersila, dengan satu tangan memegang segenggam penuh batang bunga sedap malam dan tangan lainnya masih memegangi tali pasung kayu.

“Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan… Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan…” Wenang seperti merapal sebuah mantra dengan suara menggeram keras dan mengerikan, sambil menggerakkan segenggam batang bunga sedap malam itu ke arah saya… Dia tampak sedang mengarahkan mantra ritual pada saya!!

Tolong…! Lari… Lari… Lari…! Di tengah kengerian ini, seketika sayup-sayup saya mendengar suara Wening.

Ada sebuah pintu panjang menyerupai lorong yang menyala di sudut lain ruangan ini. Dari situ datangnya suara Wening, “Tolong! Saya di sebelah! Lari! Lari ke sini!”

“WENING?! KAMU DI MANA?!” Saya berteriak, sambil curi-curi pandang ke
arah Wenang yang terus komat-kamit menjalankan ritual di sudut ruangan.

“Di ruangan sebelah! Lari! Lari ke sini!” Suara Wening terdengar berasal dari lorong di samping kanan saya, terus bersahut-sahutan dengan suara teriakan Wenang yang melakukan ritual iblis kepada saya.

“Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan… Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan…” Kepala saya terasa sangat pusing dan berputar-putar. Saya sangat mual, saya mau muntah…

“Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan… Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan…” Wenang masih terus menyerukan mantra ritualnya sambil mengibaskan batang-batang bunga sedap malam ke arah saya, mencipratkan darah…

“LARI!!! MASUK LORONG!!! LARIII!!!” Wening terdengar menjerit penuh rasa putus asa. Namun, suaranya itu seolah memberi kekuatan bagi saya.

Saya secepatnya berlari menuju lorong yang menyala di sana. Wenang ternyata tidak tinggal diam. Melihat saya berusaha melarikan diri, pria itu langsung bangkit dan beranjak dari sudut ritualnya… Wenang menggenggam batang bunga sedap malam dan menyeret pasung kayu berdarah…, mengejar saya.

Dengan sisa-sisa tenaga, saya terus berlari hingga mencapai ujung lorong. Memang ternyata ada ruangan, ada sebuah kerangkeng, dan ada Wening.

“CEPAT ANGKAT BALOKNYAAA!!!” Wening menyambut kemunculan saya dengan suara teriakan yang melolong dan mata yang memelototi saya

Misteri Rumah Sangit Episode-5: Meninggalkan Sahabat di Rumah Pesugihan

Rumah Sangit

“CEPAT ANGKAT BALOKNYAAA!!!” Dari dalam kerangkeng yang puncaknya terbungkus kain merah, Wening berteriak dengan mata memelotot sambil mengguncang-guncangkan jerujinya.

Jeruji itu dikunci menggunakan tiga balok kayu panjang dari luarnya. Wening tidak bisa membukanya sendiri dari posisinya dalam kerangkeng.

“Kenapa… saya harus buka kerangkeng kamu?! Nanti kamu juga nyerang saya! Ngorbanin saya ke iblis kayak keluarga kamu! Nanti kalian bunuh saya juga kayak temen-temen kamu sebelumnya!” Seketika saya merasa curiga.

“Maaf! Saya minta maaf! Saya enggak tau! Saya enggak pernah setuju keluarga saya jadi penyembah iblis, melihara demit! Saya enggak pernah setuju keluarga saya pesugihan! Saya enggak tau kalau selama ini Wenang sering kerasukan iblis untuk pesugihan! Saya juga enggak tau kalau selama ini yang dikorbankan keluarga saya adalah teman-teman saya!” Wening menjelaskan dengan suara gemetar dan air matanya bercucuran.

“Saya enggak percaya lagi sama kamu! Kamu ngejebak saya!” Saya di luar kerangkeng merah ini, berhadapan dengan Wening sambil gemetaran.
“MAAF! Saya sungguh minta maaf! Bantu saya keluar! Saya akan keluarkan kamu dari rumah ini, kalau kamu buka kerangkeng saya!” ujar Wening.

“BOHONG!” Saya menjerit ke wajahnya.

Terdengar raungan suara Wenang yang mengejar saya melalui lorong di belakang, menyeret pasung kayu dengan potongan tangan manusia, dan menggenggam batang bunga sedap malam. Wening pun terlihat semakin panik.

“Cepat angkat balok kerangkeng saya!!! CUMA SAYA YANG BISA SELAMATKAN KAMU DARI WENANG DAN IBU!!!” jerit Wening.

Wenang mengejar saya, akan menjadikan saya tumbal berikutnya. Saya tidak mau berurusan lagi dengannya. Saya hanya mau keluar dari rumah keluarga penyembah iblis ini hidup-hidup!

Buru-buru saya mengangkat balok panjang pertama yang mengunci kerangkeng Wening. Balok itu berat sekaliii!! Tapi, saya tidak mau menyerah pada Wenang yang mau menjadikan saya tumbal pesugihan kepada iblis!!

“Cepaaatt! Saya enggak mau kamu dibunuh kakak saya untuk tumbal pesugihan!!!” Meski panik, Wening menyemangati saya. “Saya mau kamu hidup! SAYA MAU KAMU KELUAR DARI RUMAH SAYA HIDUP-HIDUP!!!”

Kekuatan saya muncul dari ketakutan, sekaligus kesadaran bahwa Wening sepertinya betul ingin saya bisa kabur dari rumah keluarganya yang memuja iblis ini. Saya pun berhasil melepas tiga balok panjang dari kerangkengnya. Sampai akhirnya Wening bisa bebas keluar jeruji yang tidak lagi terkunci.

Wening melompat keluar dari kerangkeng, dan tangannya langsung menyelipkan sebuah amplop putih kotor dan kunci ke tangan saya. “Ambil ini, dan cepat keluar dari pintu itu! Saya akan menahan Wenang supaya enggak menyerang kamu!” Wening menunjuk ke arah pintu kayu di ujung ruangan ini.

Saya melihat sebuah amplop dan kunci yang ditaruh Wening di tangan saya.Saya tahu kunci ini untuk membuka pintu keluar, tapi surat ini… “Surat apa ini?” tanya saya, kepada Wening yang berdiri berhadapan dengan saya.

“Pesan terakhir saya…,” kata Wening. “Kalau nanti saya mati di tangan kakak atau ibu saya… Kamu tetap lakukan apa yang saya tulis di surat itu…”

Wenang muncul di pintu lorong dari ruang makan tadi sambil meraung dan mengacungkan pecut batang bunga sedap malamnya. Tampak siap menerkam saya.

“CEPAT PERGI DARI RUMAH KAMI!! SAYA ENGGAK MAU KAMU MATI!! KAMU SATU-SATUNYA SAHABAT SAYA!!” Wening menangis dan berteriak dengan nada memohon kepada saya, seraya mendorong saya ke pintu.Ning…” Saya menatapnya dengan heran sekaligus sedih. Kenapa dia begini mengorbankan dirinya sendiri demi saya bisa selamat dari rumahnya…

“Ning, kalau kamu bener-bener enggak mau ikut keluarga kamu melakukan pesugihan di sini, kamu bisa ikut saya pergi…” Saya ingin mengajaknya. Dalam relung hati terdalam, saya juga ingin Wening bisa selamat dari sini… bisa selamat dari cengkeraman keluarganya yang melakukan pesugihan.

“Saya harus menahan Wenang supaya dia enggak terus ngejar kamu,” Wening berkata sambil tersenyum, tapi matanya meneteskan air mata. Kemudian, hanya suara nyanyian yang keluar dari mulutnya.

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Wening menyanyikan lagu misterius ini, sambil balik badan, dan kini ia berhadapan dengan Wenang yang telah sampai memasuki ruangan ini.

Ini satu-satunya kesempatan saya kabur dari rumah keluarga penyembah iblis yang menjebak saya. Saya segera berlari menghampiri pintu kayu yang barusan ditunjuk Wening. Saya membukanya pakai kunci dari Wening, dan ternyata terhubung langsung ke halaman depan rumah, tempat parkir mobil.

Sebelum keluar, saya sekali menoleh lagi kepada Wening. Perempuan itu terus menyanyikan lagu misterius itu di hadapan Wenang. Seolah-olah lagu itulah caranya untuk menenangkan jiwa iblis dalam diri kakak kembarnya.

“Selamatkan dirimu sendiri juga, Ning!” Terakhir, saya berteriak kepadanya, kemudian cepat-cepat berlari keluar dari rumah ini dan masuk mobil saya.

Pintu rumah tetap terbuka, sehingga saya masih bisa melihat apa yang terjadi di ruangan kerangkeng sana… Wenang dan sang ibu betul-betul telah keluar dari lorong dan kini mereka berada di ruangan yang sama dengan Wening. Mereka tampak memelototi Wening dengan penuh amarah.

“INI SALAH KAMU!!!” Wenang berteriak kasar kepada Wening, kemudian memukul adik kembarnya itu pakai batang bunga sedap malam berdarah.

Wenang menjambak rambut panjang Wening, dan menyeretnya masuk kembali ke lorong menuju ruang ritual. Saya sangat kaget menyaksikannya.

Namun, Ibu Wening mendadak menoleh ke arah pintu yang terbuka… ke
arah saya… Saya tidak mau diseret kembali masuk Rumah Sangit ini!

Saya buru-buru mengendarai mobil, pergi jauh-jauh dari Rumah Sangit ini.
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…”

Kehidupan Kami

 Kehidupan Kami



"Kalau ga ada dia, mungkin saja aku ga bisa melewati semuanya" Desember 2016

Setiap kita pasti pernah dihadapkan pada sebuah pengambilan keputusan yang sulit. Lantas bagaimana kita menyikapinya? Bahkan ketika kita sendiri tak tahu apakah keputusan kita adalah yang terbaik? Bagaimana jika tak sesuai harapan? "Ada hikmah dari setiap perjalanan hidup"


Masa Kecil

Kehidupan Kami


Nampak para pegawai di salah satu kafe sedang berkumpul dibalik pintu, tengah bersiap menyambut pemilik kafe tersebut. Jafar Mustafa. Seorang laki-laki tampan berusia 22 tahun dengan tinggi 170cm itu tiba didepan kafe besar yang merupakan miliknya. Salah satu karyawan membukakan pintu mobil hitam tersebut dan keluarlah seorang pria dari dalamnya.

"Ah, kamu ini, ga perlu lah sampai buka pintu segala" ucap Jafar pada karyawannya

Karyawan itu hanya tersenyum sambil menunduk sedikit. Jafar cukup terkenal di daerahnya. Bagaimana tidak, seorang pengusaha muda, memiliki kafe di beberapa kota, tampan, dan merupakan lulusan universitas di luar negeri. Tapi disamping kepopulerannya, Jafar merupakan sosok pria yang kalem, namun tegas.

Jafar berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Dia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ia memiliki dua adik perempuan yang masih sekolah di bangku SMP dan SMA. Saat Jafar berumur 7 tahun, ia pernah mengalami gagal ginjal yang mengharuskannya melakukan transplantasi ginjal.


----

Pada tahun 1999, Jafar dilarikan ke rumah sakit karena ga sadarkan diri. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter menyarankan untuk melakukan transplantasi ginjal secepatnya, karena salah satu ginjalnya sudah tidak dapat berfungsi dengan baik, yang ditakutkan akan infeksi dan menyebar ke organ lain. Di sisi lain, ada seorang anak perempuan yang sedang duduk di kursi roda ditemani ibunya. Gadis itu melihat kedua orang tua Jafar sedang menangis karena tidak tahu harus mencari ginjal kemana. Terlebih jika ada yang menjual, pastinya harganya tidak murah. Hal itupun terdengar oleh gadis kecil itu

"Ummi, aku boleh bantu mereka ga?" tanya gadis itu pada ibunya
"Cukup bantu do'a nak" jawab ibu dari gadis itu sambil mengusap kepalanya

Tak lama, dokter datang menghampiri gadis itu untuk melakukan pemeriksaan.

"Dok, aku bisa ga kasih ginjal aku untuk anaknya ibu itu?" tanya gadis kecil itu
"Loh, kok bisa punya pikiran seperti itu?" tanya dokter
"Aku takut aku ga bisa sembuh, aku ingin kasih ginjal aku untuk anak itu" ucap gadis itu

Gadis berusia 6 tahun sudah berbicara seperti itu. Ibunya hanya bisa menangis mendengar ucapan anak satu-satunya itu. Gadis itu biasa disapa dengan panggilan Naya. Naya menderita sakit kanker darah dan sudah menjalani pengobatan selama hampir enam bulan. Ibunya menatap Naya yang wajahnya sedikit pucat, dengan tatapan yang sayu disertai air mata yang mengalir perlahan di pipinya.

"Boleh kan ummi?" tanya Naya pada ibunya sembari tersenyum

Ibunya hanya bisa memeluknya sambil mengangguk. Sebenarnya ia masih merasa ragu, namun ia berusaha untuk ikhlas dengan permintaan anaknya itu. Karena yang ia takutkan kalau ini adalah permintaan terakhir anaknya.

Pertemuan Pertama

Kehidupan Kami


"Kenapa kamu mau berbuat seperti itu?" tanya ibunya Naya
"Kan kata ummi kita harus saling tolong menolong sesama muslim" jawab Naya
"Tapi nanti kamu sakit" kata ibunya sambil terus memeluk Naya
"Naya gamau liat mereka sedih, ummi" ucap Naya dengan polos

Naya hidup hanya berdua bersama ibunya, ibu Yuli. Naya adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki. Jika harus kehilangan Naya secepat itu, tentulah tidak siap. Abahnya sudah meninggal satu tahun lalu karena kecelakaan kerja.

"Ummi solat dulu ya" ucap Yuli dijawab dengan anggukkan Naya

Beberapa saat setelah shalat, ia berdoa pada Allah, berharap yang terbaik untuknya, maupun untuk Naya. Berdoa agar diberikan kekuatan dalam menghadapi apa yang akan terjadi didepan. Di ruang rawat inap, Naya sedang duduk sambil memeluk boneka kelincinya, seolah sedang bermain dengan seseorang. Yuli kembali bertanya pada Naya perihal keinginannya untuk melakukan donor ginjal itu.

"Boleh ummi?" tanya Naya
"Iya boleh, berdoa sama Allah ya nak" ucap Yuli
"Makasih ummi, Naya janji akan jadi anak yang baik, dan shalihah, seperti yang dibilang abah" kata Naya

Keesokan harinya, dilaksanakanlah operasi transplantasi ginjal itu. Beberapa jam sebelum operasi, Naya bertemu dengan Jafar di satu ruangan. Orang tua Jafar begitu sangat berterima kasih kepada Naya.

"Hai, aku Naya" ucap Naya dengan nada khas anak berusia 6 tahun
"Aku Jafar" jawab Jafar yang sedang terbaring di kasurnya
"Naya seneng punya temen baru, ummi" kata Naya pada ibunya
"Kenapa kamu mau kasih ginjal kamu?" tanya Jafar
"Kata abah, Naya harus saling tolong menolong dan Naya harus ikhlas, karena kalau ikhlas, Allah bakal membalasnya berkali-kali lipat" kata Naya

Sontak ucapan itu membuat semua yang ada diruangan itu kaget. Benarkah anak berusia 6 tahun sudah dididik seperti itu? Serasa tak percaya, orang tua Jafar kembali menanyakan keyakinan Naya untuk mendonorkan ginjalnya

"Tapi nanti kalau kamu sakit gimana?" tanya Rima, ibunya Jafar pada Naya
"Kata ummi, sakit itu penggugur dosa" jawab Naya sambil memeluk boneka kelinci kesayangannya
"Semalam Naya mimpi ketemu abah. Kata abah, Naya harus banyak berdoa. Naya pengen masuk syurga, sama seperti abah, ummi" lanjut Naya

Yuli langsung menangis sembari memeluk Naya. Beberapa saat kemudian, berjalanlah operasi itu. Singkat cerita, operasi selesai dilakukan, dan dinyatakan berhasil. Kini Naya hanya hidup dengan satu ginjal saja.

Saat Jafar mulai sadar dari efek bius, di sisi lain, Naya belum sadarkan diri. Orang tua Jafar menawarkan untuk membiayai semua biaya Naya, namun saat itu Yuli menolak dengan halus. Beberapa hari kemudian, Jafar diperbolehkan untuk pulang, namun sebelum pulang, ia mengajak orang tuanya untuk menengok Naya. Saat mereka ke kamarnya Naya, terlihat Yuli sedang menangis dihadapan Naya yang sedang terbaring tidak berdaya. Karena kepolosan Jafar, ia berfikir Naya sedang tidur. Tapi orang tua Jafar menyadari, kalau ada sesuatu yang tidak beres. Merekapun mengajak Jafar untuk pulang, membiarkan ibunda Naya menenangkan diri. Namun sebelum pulang, Jaka, ayahnya Jafar, pergi ke bagian administrasi dan melunasi semua biaya pengobatan Naya. Namun disaat itu juga, ternyata Jaka menggadaikan mobilnya untuk menambah biaya rumah sakit. Karena ia merasa Naya sudah menyelamatkan hidup anak laki-lakinya itu.

Sebuah Peristiwa

Kehidupan Kami


Bertahun tahun berlalu. Kini Jafar tengah menjalankan pendidikan di luar negeri. Bagaimana bisa ia menjalankan pendidikan di luar negeri, jika keluarganya terbilang biasa saja? Ia mendapat beasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Saat itu Jafar memilih untuk kuliah di Le Cordon Bleu, Australia. Sebagai seorang anak laki-laki, Jafar memiliki hobi yang sedikit berbeda dengan anak laki-laki pada umumnya. Ia sangat suka memasak. Dan universitas tersebut disebut sebagai Universitas Kuliner terbaik di Prancis yang sudah tersebar di banyak negara, termasuk Australia.

Pada tahun 2012, Jafar mulai bekerja sampingan di kafe yang cukup besar disana. Berkat kegigihannya dalam belajar dan bekerja, owner kafe tersebut sangat puas dengan kinerja Jafar disana. Dari yang semula ia bekerja sebagai asisten koki, ia diangkat menjadi koki. Saat ia ditawari untuk memegang jabatan sebagai kepala koki, Jafar menolak karena ia merasa sangat senang dengan pekerjaannya sekarang. Jika ia menjadi kepala koki, yang berarti ia tidak akan fokus pada masakan saja. Ia juga harus fokus pada manajemen dapur yang ia naungi.

Pada akhir tahun 2013, Jafar lulus kuliah, dan ia juga hendak resign dari pekerjaannya. Disinilah awal mula ia mulai dikenal. Ternyata, owner kafe tempat ia bekerja memiliki satu cabang di Indonesia yang hanya dijalankan oleh satu orang kepercayaannya. Dan ia menunjuk Jafar untuk menjalankan kafe tersebut. Tentunya Jafar menerimanya, karena salah satu mimpinya adalah memiliki usaha kuliner sendiri.

Singkat cerita, Jafar menjalankan usaha bosnya dengan baik hingga dalam waktu satu tahun saja, ia sudah membuka banyak cabang di kota-kota besar. Kembali ke awal kisah dimana Jafar sedang disambut oleh para karyawannya, itu merupakan cabang yang baru saja ia buka. Tak lupa ia juga mengajak kedua orang tuanya dan kedua adik perempuannya. Namun saat itu Jafar harus datang terlebih dahulu untuk acara pemotongan pita dalam pembukaan cabang barunya. Sementara keluarganya akan menyusul.

Acara pembukaan cabang tersebut berjalan dengan lancar, namun keluarga Jafar belum juga datang. Jafarpun mencoba menghubungi ibunya, namun nomornya tidak aktif. Begitu juga dengan nomor ayahnya. Sampai akhirnya ia mencoba menelefon ke nomor adik pertamanya, Jingga. Namun belum sempat menelefon, seseorang menghampirinya dengan nafas terengah-engah

"Lo susah banget dihubungi" ucap Satrio, sahabatnya Jafar
"Kenapa lo?" tanya Jafar memperhatikan Satrio

Satrio menghela nafas, kemudian membisikkan sesuatu pada Jafar. Hal yang membuat Jafar langsung merasa lemas. Keluarganya mengalami kecelakaan. Dikabarkan mobil yang mereka tumpangi tabrakan dengan mobil lain, dan mobil tersebut berhasil melarikan diri. Seketika suara dalam telinga Jafar menjadi hening. Dengan tergesa-gesa, Jafar meminta kunci mobil pada supirnya dan langsung berangkat menuju rumah sakit.

Gigolo Itu Ayahku

 Gigolo Itu Ayahku


"Anakkuuu ..." Seorang pria memanggil manggil aku dengan sebutan anak, lalu berusaha untuk memberikan kasih sayang nya secara terbuka. Bahkan media massa pun di kerahkan untuk mendapatkan pamor, demi kemuliaan nama agungnya, yang sudah di lecehkan seorang wanita karena diduga pria tersebut tidak bisa memberikan seorang anak. Dari hasil perkimpoian yang sudah berusia dua puluh tahun.

Semua tentang kisahku, sejak pria itu datang kembali ke dalam kehidupan kami, setelah menelantarkan selama tiga belas tahun sudah. Dan anak yang terlahir dari hubungan haram tersebut ialah aku, buah cinta sesaat yang terlarang, karena hasil perselingkuhan nya dengan mama, melalui kebohongan yang di bentuk dengan sempurna.

Dan akhirnya terbentuk aku, yang bukan lagi berupa kumpulan air surga milik sepasang kekasih, pada harga eceran gratisan yang dahulu kala terjalin, di awali dengan bubuk putih laknat, hingga akhirnya kebejatan moral menjadi candu, sampai pada akhirnya terlahir sosok ratu bucin, hanya karena cinta sesaat membuat nya menjadi lebih panjang dengan drama pada tiap kisah-kisahnya.

Masih teringat kisah nyata yang sering di ceritakan oleh eyang putri dan seluruh kejadian, yang mana sempat membuat gempar seluruh dunia muda ibuku, saat kariernya sebagai pengusaha batik menjadi sorotan umum tercemar dan bahkan seluruh keluarga di kucilkan. Lamunan terhenti ketika pria tersebut kembali memanggil ku dengan sebutan anak.

"Anakkuuu ...."

Sambil menyodorkan kedua tangannya, berharap aku, seorang Dita Maharani yang cantik nya sudah melanglang buana, akan tenggelam di dalam pelukannya.

'Sialan! Pede bener dia panggil aku dengan sebutan anak.' Batinku mulai tidak menyukai suaranya.

"Nak, kemarilah sayang."

"Who are you?" Jawabanku ketus, dengan mimik yang menyiratkan ketidaksukaan.

"Aku ayahmu ...." Kembali kedua tangannya merentang. Lalu berjalan ke arahku.

"Ayahku sudah meninggal."

Rasanya aneh saja, tiba-tiba ada seorang pria, yang mabuk kecintaan kepada anak, yang sudah di buang nya puluhan tahun lalu. Kemudian dia nampak memamerkan benda-benda berharga, yang dikeluarkan nya dari dalam kendaraan roda empat, yang di bawanya dari kota. Lalu muncul pula dua orang tua renta, membuka pintu mobil dan berjalan ke arahku. Kemudian memanggil nama panggilan akrabnya, dengan gaya sok kebarat-baratan.

"My grand daughter...."

Idihhh rasanya menjijikan melihat adegan yang tak biasa ini, walaupun usiaku baru saja menginjak usia remaja, namun sudah tidak lagi membutuhkan sosok ayah. Karier ku di dunia modeling sudah bisa membuat mama tidak kekurangan, bahkan aku juga tidak membutuhkan yang namanya kakek dan nenek yang baru, sebab bagiku hanya ada sepasang orang tua dari mama, yang melengkapi semua kebutuhan jasmani dan rohani.

Hanya bisa berlari ke arah taman, menghindari dari kenyataan yang sangat nyata di depanku. Dengan segala ritual busuk yang menyengat di Indra pendengaran. Apalagi saat para kameraman memusatkan perhatiannya, hanya di wajah pria, yang seharusnya di sebut dengan panggilan ayah.

"Anakkuuu ...." Kembali dia berdrama picisan.

Saat ini memang aku tidak bisa memanggilmu ayah, padahal karena sperma darinya lah, wujud ini terlahirkan ke dunia, walaupun kemiripan sifat dan paras diturunkan tanpa bisa menolak, apalagi memilih. Namun jiwa dan raga sudah menolak kehadirannya, bahkan sejak malam tahun baru, sepuluh tahun silam, saat ulang tahun yang keempat, yang mana aku terusir dengan sangat kejam. Tanpa welas asih. Dan hingga kini masih teringat bagaimana mimik mereka, saat mengusir ku.

"Nak, ini sepatu model terbaru, hanya baru ada di tiga negara saja. Dan ayah khusus membawakannya untuk mu."

Hampir saja aku terbujuk oleh benda-benda mahal yang dibawanya. Kalau saja tidak teringat, masa kerasku hidup di dunia ini, tanpa sosok seorang ayah, timbul rasa benci yang tidak bisa di lucuti dengan bujuk rayunya, apalagi harta benda yang mahal mahal itu, yang mana rupanya sengaja di keluarkan dari bagasi, demi untuk membuat pengakuan atas nama ayah di kartu keluarga kami.

Lalu wanita paruh baya yang lama ku sebut dengan istilah mama, mendekatiku dan mulai mengusap kepala, memberikan petuahnya.

"Nduk, Kebodohan itu jangan dipelihara, sebaiknya gunakan akal untuk membuat hidupmu lebih bernilai."

"Ma! Enak dong jadi pria itu? Datangnya hanya jika butuh saja. Cintamu buta dan tuli, hingga tidak bisa merasakan rasa sakitnya di telantarkan."

"Memaafkan seseorang adalah salah satu jalan yang akan membawamu menuju ke jalan yang lebih sukses lagi, Nak!"

"Tapi ...."

"Manusia yang berakal itu terbentuk, dari kumpulan ringkih, yang terbuat dari rasa sakit hati dan janji-janji manis, yang terus menerus diingkari, nduk."

"Pahitnya hidup sudah aku rasakan, Mam. Jadi tidak akan pernah berharap kepada bentuk manusia lagi, sekalipun dia adalah ayahku."

Aku meninggalkan mama setelah mencium punggung tangannya, untuk berpamitan menuju ke sekolah, lalu kembali menatap mereka semua nya, dengan pandangan penuh kebencian.

Dari kejauhan aku melihat mama membungkuk, sambil berbicara sangat sopan, tenang dan penuh ketulusan. Entah bagaimana pikiran dari keluarga ayah, yang pastinya akan membuat matanya akan berair pada akhirnya.

"Maafkan aku, Mas, ayah, ibu. Yang tidak bisa mendidik anakku." Sambil membungkukkan badannya ke arah pria separuh baya dan kepada kedua pasangan renta, yang tiba-tiba sudah berdiri di antaranya.

Melihat kondisi tersebut, memutar balik motorku lalu mulai berdrama sesuai dengan keinginan dari ayah.

"Maafkan aku Mama! Ayah ...."

Memeluknya dengan sangat terpaksa dan membisikkan kata kata yang membuat dirinya terkejut, hingga mulutnya terbuka dengan lebar.

"Hai bajingan!"

"Hahaha anakku, kau bisa saja sebegitu bercandanya."

"Yah aku pamit sekolah dulu ya!"

Mencium batang tangannya dan berjalan ke arah sepasang renta yang tidak lain orang tua dari ayahku. Memeluknya sambil berbisik, "Jangan pernah melukai ibuku! Sedikit saja air matanya tumpah, maka hidup kalian akan kubuatkan banyak air mata." Mereka hanya terdiam sejenak lalu menjawab, "kau pikir kami takut, dasar anak haram!"

"Kakek, apa perlu aku memutar vidio sepuluh tahun yang lalu?" Mengancamnya sambil tersenyum penuh kebencian.

"Jangan! Jangan lakukan itu, Dita. Maafkanlah kami." Nenek mencoba untuk mengontrol amarah suaminya dan juga aku.

Para media menyorot wajah kami, sebagai keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang. Dengan judul pertemuan tak sengaja itulah, pada akhirnya mereka singgah di rumah kami dan mencicipi masakan mama.