Jumat, 29 Desember 2023

KETIKA ISTRI GENDUT BERUBAH LANGSING SETELAH DISIA-SIAKAN 1

 


“Kita berpisah saja setelah aku pulang satgas!” ucap Raswan seraya memanggul tas ranselnya sebelum masuk ke dalam barisan di tepi dermaga.
Tahun 2021 ...
Dua KRI—Kapal Perang Republik Indonesia—sudah bersiap memberangkatkan para pasukan yang akan bertugas di pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland.
“Iya, Mas,” jawab Nena—istrinya Raswan.
Wanita bertubuh gemuk itu pasrah saja. Ia menyadari sudah tidak ada kecocokan di antara keduanya. Rumah hijau sederhana mereka akhir-akhir ini hanya dipenuhi pertengkaran demi pertengkaran. Nena tahu pasti ada wanita lain di hati suaminya.
Raswan pergi begitu saja, bergabung dengan para prajurit lainnya. Ibu satu orang anak itu memandang punggung suaminya dengan sorot mata sedih.
Kalau ini menjadi akhir, Tuhan, izinkan aku siap menghadapi ....
Nena memandang ke kanan kirinya, para suami berpamitan ke istri tercintanya dengan suasana penuh haru. Kecupan di kening ditinggalkan oleh para prajurit untuk istrinya sebagai isyarat rasa kasih dan sayang walau sebentar lagi mereka akan dipisahkan oleh jarak. Tak sedikit para istri yang melepas kepergian suaminya yang bertugas dengan tangis air mata. Hanya Nena yang menangis tidak dengan alasan itu. Ia menangisi diri sendiri karena dicampakkan.
Tibalah para pasukan berjajar rapi masuk ke atas KRI. Keluarga yang ditinggalkan serentak histeris dan berlari lebih dekat ke tepi dermaga untuk mengantar yang terkasih. Mereka lari membabi buta demi demi bisa terlihat oleh suami mereka dari atas kapal. Nena pun ditabrak sana-sini karena tetap berdiri mematung seraya menatap sedih ke arah KRI yang akan berangkat tersebut.
“Gendut, minggir!” maki seorang rekan sesama istri tentara yang kerap menghina Nena di asmil (asrama militer). Makiannya menambah rasa sakit di hati Nena. Ia pun minggir, menjauh, tanpa ada satu pun yang memperhatikannya.
Dari kejauhan, ibu muda yang datang tanpa riasan itu menatap para prajurit yang melambai penuh haru pada istri yang ditinggalkannya, kecuali satu orang yang tak melakukannya, yaitu Raswan. Suaminya justru terlihat sedang menelepon seseorang.
Nena membalikkan tubuh, tangisannya semakin deras di tengah kerumunan.
Cukup, ini terakhir kali aku menangis untukmu, Mas ....
**
Seminggu kemudian ....
Sudah tidak bisa mengandalkan keuangan keluarga dari Raswan, Nena berusaha mencari kerja untuk kebutuhan hidupnya dan putra semata wayangnya. Satu per satu toko, bidang usaha, industri didatanginya. Jawabannya tetap sama, tidak ada lowongan kerja, bahkan banyak pengurangan karyawan efek pandemi.
Nena duduk sebentar di halte tanpa melepas maskernya. Kepalanya bersandar lemah di tiang penyangga sambil menunggu bus.
Gimana nasibku. Harus meyambung hidup pakai apa?
Lowongan kerja dari portal online juga sudah dicoba Nena dengan mengirimkan lamaran kerja dan CV melalui pesan surel, tetapi saat ada panggilan wawancara langsung, rata-rata pencari kerja yang lulus adalah yang bertubuh ideal.
Di seberang halte, beberapa anak yang diduga Nena adalah para pemulung atau pengamen cilik sedang berlari tertawa dan saling berkejaran terlihat begitu damai.
Meraka begitu bebas, seperti tak ada beban, tak terpengaruh dengan pandemi berkepanjangan ini, tak peduli bagaimana dunia memutarbalikkan kehidupan, lirih Nena dalam hati. Wanita berambut lurus sebahu itu memperhatikan langkah-langkah kecil yang terasa bebas. Tak punya belenggu apa pun yang mengikat. Nena pun berdiri, mengikuti jalan ke arah pulang.
Awal-awal, Nena masih berjalan. Semakin lama, langkahnya semakin cepat dan berubah jadi langkah berlari.
Seperti ini rasanya berlari cepat ....
Air matanya berderai, tetapi bibirnya tersenyum. Dia merasa bebas, sejenak belenggu hidup lepas.
Nena terus berlari, dia mulai ketagihan dengan aktivitas barunya itu.
**
Tahun 2022 ....
Embusan napas pendek, cepat, mengiringi irama langkah berlari Nena. Kerikil-kerikil di sepanjang jalan ditebas dengan langkah kuatnya. Wajah ibu muda itu serius menatap ke depan. Sinar matanya kuat, tak menggoyahkan keyakinannya bahwa dengan terus berlari ia berharap semua dilemanya akan mengikis.
Kedua tangannya berselaras bergerak mengimbangi langkahnya. Dalam larinya ketika kenangan pahit bermunculan, ia semakin memicu langkahnya lebih cepat.
Kenangan pahit itu muncul setiap waktu, menggedor-gedor ruang hatinya tanpa kenal waktu. Lembaran kenangan itu meninggalkan luka.
Semua bermunculan, ketika pertama kali mengetahui chat WhatsApp mesra suaminya dengan wanita lain, ketika menyadari suaminya sering berbohong sibuk dinas luar padahal bertemu dengan wanita itu, ketika menemukan surat pembelian cincin emas yang ia kira untuknya ternyata bukan, ketika menemukan foto suaminya dan wanita itu di ponsel yang diberi password dan akhirnya mereka bertengkar hebat. Pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi, Nena lelah. Memilih pasrah dan menyudahi segalanya.
Setiap teringat itu Nena memilih berolahraga, berlari yang paling sering dijalaninya, berharap dengan berlari semua kenangan pahit itu teralihkan, entah berapa kali dalam sehari ia berlari, kadang 3-4 kali dalam sehari, pagi siang sore dan kadang malam.
Telah enam bulan berlalu. Nena mengistirahatkan diri duduk di depan parkiran tank. Napasnya memburu melepas lelah. Ia luruskan kaki ketika duduk.
Angin sore lumayan kencang hingga rambutnya bergoyang dikibas angin. Parkiran begitu sepi karena penghuni asrama rata-rata berkumpul di lapangan voli.
Kedua tangannya bertumpu pada kedua lututnya yang menyelonjor.
Dua orang ibu muda yang berjalan dari lapangan voli melirik takjub ke Nena.
“Bu Raswan!” sapa mereka, masih memanggilnya dengan embel-embel nama suami.
Nena mendongak. ”Eh, iya Bu Hari?”
Bu Hari dan Bu Erwin berhenti sekadar mengagumi perubahan tubuh Nena. “Kok bisa langsing begini, Bu? Diet ketat ya?” tanya Bu Hari.
Nena yang sama sekali tidak merasa langsing justru bingung.
“Bu Har, jangan bikin saya tambah down,” ucap Nena yang mengira pujian dua rekan sesama istri tentara itu bak majas ironi, bertentangan.
Kedua ibu muda itu justru bengong.
Dipuji kok malah bikin down?
Ibu muda itu berlari lagi, meninggalkan kedua rekannya. Setiap ada yang mengomentari tubuhnya, Nena jadi tidak percaya diri. Dianggapnya itu adalah sindiran. Nena memang belum sadar jika berat tubuhnya turun drastis.
Selama enam bulan ini, dia selalu menghindari kaca maupun cermin karena yang terbayang adalah wajah menyedihkannya. Cermin di rumahnya dilapisi koran lantaran niatnya untuk cepat move on dari segala beban.
Wanita bertubuh tinggi itu belum menyadari penuh bentuk tubuhnya yang sekarang telah berubah.
Baju-baju lama tetap dipakai Nena, walau longgar, dia tidak ingin meyakini kalau longgar. Menganggap bajunya yang cepat melar sehingga dia menjahit atau mengikat sekadarnya saja. Ia pun menghindari bertemu orang-orang, saat olahraga selalu mencari tempat yang sepi. Berkeliling di saat-saat orang jarang berlalu lalang. Nena menjadi tertutup karena ingin menguatkan mental saat menghadapi perceraian nanti. Terkadang omongan tetangga justru tidak membuatnya berpikir jernih.
Nena terus berlari, menyemangati diri.
Satu bulan lagi Mas Raswan pulang satgas, aku harus sudah siap berpisah.
***
Judul di aplikasi: RUN 2022 (Tamat)
Penulis: Buku Tentara Polisi Buku Bunga Btp

MENDADAK MENJADI ORANG KAYA

 


"Reyhan, mana setoran hari ini!"
Aku mengeluarkan beberapa lembar rupiah dari kantong celana.
"Lama amat!" Tante Atik mengambil paksa uang hasil kerja kerasku berdagang di pantai.
"Cuma segini!" hardik Tante Atik.
"Pantai sepi, Tan. Kan hari ini bukan hari libur," jawabku.
"Kalau setiap hari segini, adikmu yang lumpuh itu mau aku kasih makan apa! Ingat ya sepanjang hari aku yang mengurus adikmu itu! jangan jadi lelaki pemalas!" Tante Atik berlalu dari hadapanku dan masuk ke dalam kamarnya.
Rasanya tak rela di perlakukan seperti ini oleh Tante Atik, padahal rumah ini adalah rumah kedua orang tuaku yang terdiri dari tiga kamar.
Kamar orang tuaku di tempati olehnya sementara kamarku di tempati oleh anak perempuannya yang usianya sama dengan adikku, Kayna yaitu lima belas tahun. Tapi anak perempuannya bertubuh tambun yang setiap saat mengunyah untuk mengisi lambungnya.
Jika tak melihat Kayna yang sakit, mungkin aku akan membawa Kayna pergi dari kehidupan Tante Atik, yang merupakan sepupu dari papa.
Tapi nasib baik belum berpihak padaku, kedua orang tuaku mengalami kecelakaan ketika hendak mengantarkan Kayna masuk ke Islamic Boarding School yang berada di kota Pekanbaru. Ketika melewati jalan tol sebuah kecelakaan terjadi, kedua orang tuaku tewas seketika, sementara Kayna terluka parah.
Biaya pengobatan Kayna yang tak sedikit serta mengganti mobil rental yang telah hancur, terpaksa kebun sawit dua hektar di jual Tante Atik. Ternyata sawit dua hektar belum juga cukup untuk melunasi hutang rumah sakit. Secara suka rela Tante Atik menjual rumahnya.
Awal aku sangat beruntung bisa dibantu oleh Tante Atik, karena rumah mereka di jual, mereka pun tinggal di sini. Lama kelamaan sikap Tante Atik berubah, kini ia menguasai rumah ini. Jika aku sedikit memberontak, ia selalu mengungkit-ungkit jasanya.
Karena itulah, aku yang baru duduk di bangku kuliah tingkat dua harus berhenti dan terpaksa menjadi tukang parkir di pantai demi memenuhi kebutuhan Kayna.
Cacing di perutku menari-nari, aku lupa malam ini belum makan sedikit pun. Aku melangkahkan kaki ke dapur hendak mengambil makanan.
Melihat tudung saji, ada sepotong ayam balado. Hatiku girang, aku mengambil nasi yang banyak dan akan makan berdua dengan Kayna. Karena aku tau Tante Atik hanya memberi Kayna nasi putih tanpa lauk.
Tangan kananku hendak mengambil sepotong ayam balado, tiba-tiba Pera--anak perempuan Tante Atik mengambil sepotong ayam balado.
"Ini punyaku, Rey. Kau makan saja yang itu," ucap pera sambil menunjuk sebuah piring yang berisi tempe goreng dua potong.
"Hey, Pera. Kau tak lihat badan kau seperti apa!"
"Emang seperti apa?"
"Seperti balon udara!" ucapku sambil mengambil paksa ayam goreng balado dari tangannya.
Melihat ayam gorengnya berpindah tangan, ia pun menangis sambil berteriak hingga Tante Atik keluar dari kamarnya.
"Kanapa, Pera?"
"Mami! ayam Pera diambil si Rey."
"Rey!" hardik Tante Atik.
"Kenapa kalian selalu makan yang enak, sementara aku dan Kayna selalu saja makan tempe."
"Itu karena kau sedikit setor padaku!"
"Suruh Om Beni bekerja, jangan aku saja yang menjadi tulang punggung kalian!" suaraku mulai meninggi.
"Dasar kau, anak tak tahu berterima kasih. Baik, kalau kau mau hitung-hitungan. Bayar semua hutang-hutang kedua orang tuamu!"
Aku terdiam sesaat.
"Kau tak sanggup, bukan. Harusnya kau berterima kasih padaku telah memeliharamu serta adikmu yang tak berguna itu."
Hatiku memanas mendengar Tante Atik yang selalu menghina Kayna.
"Kalau aku mau, aku akan mengusir kalian dari sini. Ingat! biaya rumah sakit semuanya itu karena menjual rumahku, kini rumah ini milikku!"
Sambil mengepal kedua tanganku, aku keluar dari rumah menuju pantai yang jaraknya tak berapa jauh.
Langkahku terhenti sesaat lantas membalikkan tubuhku melihat rumah berwarna ungu.
Masih lekat diingatkanku, bagaimana kedua orang tuaku membeli tanah di dekat pantai dan membangun rumah impian mereka.
Aku memejamkan kedua mataku, hatiku geram melihat tingkah Tante Atik.
Pekat malam dihiasi bintang-bintang yang bertengger di atas sana. Deru ombak malam itu menari-nari hingga desiran pasir putih itu ikut terseret arus.
Tak ada yang dapat aku lakukan sekarang. Yang tersisa hanya sebuah sakit hati yang mendalam.
Aku merebahkan tubuhku di atas batu besar. Mataku tertuju pada bintang-bintang yang menerangi malam.
Semilir angin sepoi-sepoi menghinggapiku seketika rasa rindu hadir di hatiku.
Masih membayangkan wajah orang tuaku, aku terperanjat mendengar suara orang menangis lantas berteriak.
Aku terduduk dan melihat seorang gadis menggunakan gaun berwarna biru muda dengan rambut lurus tergerai hingga ke pinggang.
Gadis itu tak berhenti menangis, kedua tangan menutup wajahnya.
Cahaya lampu sorot yang berada di pantai membuat aku bisa melihat gadis itu yang jaraknya tak berapa jauh dariku.
Ketika ia melepaskan kedua tangan dari wajahnya, aku pun terperangah melihatnya.
Walau dalam keadaan menangis tapi tak membuat kecantikannya memudar.
Ia berteriak sekali lagi sambil melepaskan sebuah cincin dan melemparkannya ke bibir pantai.
Aku berdiri hendak mendekati gadis itu, tapi gadis berwajah indah itu beranjak pergi, ia berlari sekuat tenaga dan masuk ke sebuah mobil mewah.
Aku penasaran, kenapa gadis itu membuang cincinnya.
"Bisa jadi sedang putus cinta. Duh sayangnya, cantik-cantik di tinggal pergi."
Aku berjalan ke pinggir pantai hendak menemukan cincin itu, padahal aku sangat yakin tak akan menemui cincin itu. karena arus ombak sudah tentu telah menyeret cincin itu.
Dugaanku salah, aku melihat sebuah kilauan yang berada di tumpukan pasir putih, ternyata kilauan itu berasal dari sebuah permata cincin.
Aku mengambil cincin itu dan melihatnya secara saksama.
"Permata biru, cincin ini indah sekali."
Aku melihat ke arah jalan, ternyata mobil mewah yang dikendarai gadis itu telah pergi meninggalkan pantai.
Melihat cincin perak dengan permata biru aku jadi teringat Kayna.
"Kira-kira cincin ini laku gak ya di jual?"
Sambil memperbaiki letak topi aku pun kembali duduk di atas batu. Seketika aku pun teringat akan Bang Jarvis, yang mempunyai toko emas.
Aku mempercepat langkahku, biasanya Bang Jarvis jam segini berada di kedai kopi Pak Kelik.
"Mudah-mudahan Bang Jarvis ada di sana."
Napasku ngos-ngosan memburu waktu, ternyata usahaku tak sia-sia, aku melihat Bang Jarvis duduk di salah satu meja sambil mengobrol dengan temannya.
"Bang," panggilku.
Bang Jarvis melambaikan tangannya padaku.
Aku mendekatinya lalu berbisik sesuatu ke telinganya.
Ia mengerutkan dahi lantas berdiri dan menjauh dari keramaian orang.
"Dari mana kamu dapat ini, kamu mencuri ya," ucap Bang Jarvis sambil melihat cincin itu.
"Sumpah, Bang. Rey tak mencuri, tadi ada gadis yang membuang cincin ini sambil nangis."
Bang Jarvis mengangguk-mengangguk.
"Kita ke toko," ucap Bang Jarvis.
Sesampai di toko, Bang Jarvis melihat cincin itu menggunakan luv atau kaca pembesar. Tiba-tiba matanya membesar. Lantas mencoba memeriksanya lagi.
"Kenapa Bang?" tanyaku ketika melihat perubahan mimik wajahnya.
Bang Jarvis hanya tertawa lalu memeriksanya sekali lagi.
"Lima juta, ya."
Mataku membesar mendengar lima juta, terbayang di benakku untuk membawa Kayna terapi.
"Beneran lima juta?" tanyaku tak percaya.
"Iya, tapi uangnya besok pagi."
Aku kegirangan lantas mengambil cincin itu dan menciumnya.
"Alhamdulillah," ucapku.
"Cincin ini tinggal aja, ya Rey."
"Gak bisa gitu, Bang. Ada duit ada barang hehehe."
Bang Jarvis pun ikut tertawa.
"Aku pulang dulu, besok pagi ke sini lagi."
Hatiku benar- benar senang, ternyata barang yang buang gadis itu sangat berharga.
"Yes," ucapku sambil mengangkat kedua tangan. Tak sadar topiku terjatuh.
Baru berjalan beberapa meter, aku pun tersadar ternyata topiku jatuh tepat di depan toko Bang Jarvis. Aku berbalik arah hendak mengambil topi hingga aku mendengar Bang Jarvis sedang berbicara melalui ponselnya.
"Aku yakin ini berlian langka. Harga jual mencapai ratusan miliar."

Senin, 25 Desember 2023

DIKIRA JURAGAN IKAN, TERNYATA TENTARA TAMPAN

 

"Lepasin itu." Ekor mataku melirik ke arah ujung rok yang masih ditarik Alta.
Spontan laki-laki itu melepaskan, lalu tangannya dikibas. Seolah menghempaskan debu atau kotoran. Sialan.
"Mas Alta, udah nggak sabar, ya?" Tante Isma melirik putranya dengan tatapan menggoda.
Tentara juragan ikan itu hanya diam tak menanggapi sama sekali. Tapi kulihat dari gesturnya salah tingkah.
Tanpa bicara aku melenggang menuju dapur. Di sana, aku tidak tenang. Masih terbayang wajah tampan juragan ikan. Pesonanya sungguh tak tertandingkan. Baru kali ini hatiku dibuat penasaran.
Kakiku bergegas cepat ke kamar. Kuambil ponsel di atas meja rias. Segera kuhubungi Nina. Dia harus tau laki-laki yang akan dijodohkan denganku adalah seorang tentara.
Baru saja mau menekan kontak Nina, ponselku bergetar. Panggilan masuk dari nomor Pak Revan. Ck. Mau apa lagi si bujang karatan?
Aku membiarkan panggilan hingga berhenti sendiri. Setelahnya langsung kutelepon Nina. Panggilanku pun tersambung.
"Nin, tau nggak ternyata yang dijodohkan sama aku itu tentara." Aku menyerocos tanpa titik koma saking bahagia.
"Ha? Apa, Sel? Sorry, tadi handset-ku copot. Aku nggak denger." Nina menimpali di ujung sana diikuti suara seperti ribut-ribut.
"Kamu di mana sekarang?" tanyaku penasaran.
"Heh, kamu amnesia? Aku dari tadi nungguin kamu di Kafe Pelangi. Buruan ke sini."
Aku seketika mendengkus kasar. Ah iya, tadi lupa kasih tau Nina kalau aku tidak jadi ketemuan dengan dia. Gara-gara tentara juragan ikan itu bikin aku mendadak hilang ingatan.
"Sorry, Nin. Aku tadi lupa kabarin kamu. Aku nggak jadi ke sana. Soalnya di sini lagi ada juragan ikan."
Dengan cepat Nina menimpali, "Hah? Kamu udah mau sama si juragan ikan itu? Wah, jangan-jangan kamu udah kena pelet ikannya, Sel."
"Sembarangan kamu." Aku tertawa. "Ternyata dia bukan juragan ikan biasa, Nin. Dia itu tentara. Cuakeeep polll."
"Lah, kok bisa?"
"Aku juga nggak tau, Nin."
"Eh, Nin. Sarannya dong biar Alta itu jatuh cinta sama aku. Soalnya tadi aku udah hina dia di depan keluarganya," lanjutku lagi mengiba.
"Mampus nggak tuh," omel Nina di seberang sangat puas.
"Lah, kok malah gitu sih, Nin?"
"Habisnya kamu itu terlalu sok jual mahal. Tobat, sekarang kena tulah. Gantian kamu yang ngejar juragan ikan itu."
Aku kembali berdecak. "Dahlah, jangan banyak omong. Cepetan kasih aku ide biar Alta itu jadi suka."
Nina sejenak diam. Tak lama, dia memberiku sebuah ide. "Dia masih lama nggak? Kalo masih lama, biar aku kirimin kamu kue. Bilang aja itu kue buatanmu. Kali aja dia jadi jatuh cinta. Secara, jaman sekarang kebanyakan cewek nggak bisa apa-apa. Bisa jadi nilai tambah buat kamu."
Senyumku mengembang. Ide Nina kali ini sangat briliant. Di luar prediksi BMKG. Aku suka. Kujentikan jari sebagai tanda setuju.
"Gimana? Mau nggak?"
Belum juga menjawab pertanyaan Nina, Mama sudah masuk kamar. Beliau menatapku heran sambil menjewer telinga.
"Sa-sakit." Tangan satuku berusaha melepaskan tangan Mama dari telinga.
"Selin, kamu lagi ngapain sih? Pake kesakitan segala. Kamu sama juragan ikan itu nggak lagi ngapa-ngapain kan?" Nina terdengar penasaran.
"Nanti aku lanjut lagi, ya, Nin. Bye." Langsung kumatikan telepon.
Mama masih berdiri di depan dengan tangan berkacak pinggang. "Ini anak, disuruh bikin minum buat calon suami sama calon mertua malah asyik nelepon di kamar."
"I-iya, Ma." Aku lari terbirit-birit ke dapur. Gegas kubuat minuman untuk Alta dan orang tuanya.
"Maaf, Tante, Om. Selin kelamaan di dapur," ucapku sambil menghidangkan teh melati di meja.
Sekilas kulihat mamanya Alta menyunggingkan senyuman. "Nggak papa, Sayang."
Sementara Alta hanya diam dan fokus memandangi ponsel. Ih dasar, laki-laki tapi sok jual mahal.
"Tante sama Om jangan dulu pulang, ya. Selin mau bikinin kue." Aku berdiri sambil membawa nampan dan bertingkah sok lugu.
Spontan Mama kaget. "Kamu mau bikin kue, Selin?"
Beliau memang tau anaknya ini tidak bisa apa-apa. Jangankan bikin kue, masuk dapur saja Senin Kamis.
Langsung kukedipkan mata pada Mama sebagai kode. Beliau pun sepertinya mengerti.
"Tuh, Mas. Cewek pilihan Mama nggak salah, kan? Selain cantik, dia pinter bikin kue. Kurang apa lagi?" Kudengar Tante Isma berbicara dengan Alta. Sayangnya tak ada tanggapan apa-apa dari anaknya
Aku kembali lagi ke dapur. Langsung kukontak Nina untuk segera membawakan kue ke rumah. Menunggu cukup lama, sahabatku itu datang. Dia menerobos dapur melalui pintu belakang.
"Semoga berhasil, ya," bisik Nina sambil menyodorkan sekotak roll chese.
Segera kudorong tubuhnya agar menjauh. "Dah, sana pergi. Nanti ketahuan."
Aku buru-buru menutup pintu dan langsung memotong kue favoritku di atas piring panjang. Ketika mau mengangkat piring tersebut, Alta mendadak datang.
"Mana kamar mandinya?"
Aku menunjuk dengan dagu ke arah yang dimaksud karena tanganku sedang membawa piring berisi kue.
Sialnya, mata Alta justru salah fokus pada barang yang kupegang. Seketika dia tertawa. "Wah, ternyata kamu pesulap juga ya. Baru dibilang langsung jadi kuenya."
Aku menyangkal. "Ye, enak aja. Sebelum kamu datang, aku udah baking, kok."
Tawa Alta makin kencang. "Lain kali kalo mau ngibul itu yang pinter ya. Minimal buang dulu itu kotak kue yang kamu beli. Haha!" Pandangannya mengarah pada kotak yang masih ada di atas meja makan.
Aku gemas. Spontan kuletakkan kembali piring ke atas meja. "Kamu itu mau ngapain sih di sini? Sana, ke kamar mandi. Nanti keburu keluar di sini. Jijay."
"Kamu itu yang jijay. Cantik juga nggak, tingkahnya nauzubillah."
Aku makin kesal. "Kalo aku nggak cantik, kenapa juga mau dijodohin sama aku? Berarti kamu nggak laku."
Ujung bibir Alta naik hingga membentuk senyum sinis. "Nggak laku? Mau aku tunjukin seleraku?"
Laki-laki itu nampak merogoh saku celananya. Lalu mengeluarkan ponsel dan menunjukkan sebuah foto padaku. "Nih! Lebih cantik dia, kan?"
Ikuti terus cerita ini ya. Makasih

KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKU

 


Penulis: Ani Anisah
Alhamdulillah, pembangunan tempat usaha baru kami sudah berjalan lima puluh persen, benar kata orang-orang. Kalau ada uang, pasti semuanya berjalan dengan cepat dan lancar.
Setelah cukup puas melihat hasil kerja para tukang, kami pun pamit pulang. Tidak lupa beberapa lembar uang merah Mas Ridwan serahkan kepada salah satu dari mereka. Untuk membeli makanan dan minuman supaya mereka lebih semangat lagi untuk bekerja.
_____
"Tadi aku ketemu Tika, dan aku mengundangnya untuk makan malam bersama dengan kita," ucapku sembari mencuci buah dan menatanya dalam tempat buah.
"Tika?" Kening Mas Ridwan tampak berlipat heran saat menyebut nama Tika, aku mengangguk dan beralih mencuci wortel dan sayuran lainnya.
"Apa Tika di sini bersama suaminya?" Aku berbalik badan melihat Mas Ridwan.
"Sepertinya, iya, Mas. Kamu tahu sendiri kan, kalau aku tidak pernah bertatap muka dengan teman kepercayaanmu itu? Tapi ... mungkin saja si Jhoni itu ada di sana," ucapku sambil duduk di samping Mas Ridwan.
"Kalau iya, kok Jhoni tidak mengabari kalau dia ada di Jakarta? Perasaan kemarin dia masih di Bandung. Sebentar, Mas telpon dulu Jhoni nya, masa iya, dia meninggalkan restoran begitu saja." Mas Ridwan mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. Lalu meng-klik nomor teman kepercayaannya itu.
"Aku ke depan dulu," pamitku pelan sambil beranjak dari tempat dudukku.
"Sultan memang menantu terbaik dan tajir! Yuhuuu motor baru!" Suara yang sudah tidak asing lagi di telingaku, siapa lagi kalau bukan Tante Dira. Entah apa yang membuatnya seheboh itu sekarang?
"Ha-ha, ada-ada saja tingkah Tante Dira, apa tidak sakit tenggorokannya teriak-teriak begitu?" Rindu terkekeh geli sambil menutup gorden.
"Biarin lah, Tante Dira lagi bahagia, mungkin berteriak adalah caranya untuk mengungkapkan kebahagiaan," ucapku dan menyibak sedikit gorden untuk melihat kebahagiaan Tante Dira.
"Kalian lihat ini, ini baru namanya menantu yang hebat dan tajir, mertua minta apa saja pasti dibeliin tanpa memikirkan berapa harganya, beda dengan menantu yang di situ, atap rumah mertua hampir roboh saja tidak diganti-ganti, kelihatan sekali kalau hidupnya susah!" ejak Tante Dira. Dapat kulihat matanya melihat ke arah rumah ibuku yang sengaja kami tutup pintunya.
Tante Dira berbicara keras, biar semua tahu kalau dia dibeliin motor sama menantunya. Anehnya, mulutnya itu seperti tidak pernah berhenti untuk mencela keluargaku.
"Bikin naik darah mendengarnya, 'kan? Heran banget sama sikap semua saudaranya Ibu, kalau Rindu jadi Ibu, sudah Rindu jual rumah ini dan pergi jauh dari sini!" omel Rindu dengan wajahnya yang terlihat sangat kesal.
"Rumah ini satu-satunya peninggalan Ayah kita, banyak kenangan di dalam rumah ini, Kakak tidak setuju kalau sampai rumah ini dijual," ucapku membuat wajah Rindu semakin cemberut.
"Kapan, ya? Hidup damai, tentram, nyaman di rumah sendiri, tanpa mendengarkan ejekkan dari saudara Ibu lagi," kata Rindu sambil menghidupkan layar ponselnya.
"Setelah rumah Ibu di renovasi, Kakak jamin, suara jangkrik pun tidak akan kedengaran lagi, sabar saja ya? Sekarang, bantu Kakak masak, yuk?"
"Rindu sudah tidak sabar menunggu rumah ini di renovasi, Tante Dira pasti akan sangat kepanasan melihatnya nanti. Untung-untung Tante Dira dapat bonus stroke karena kepanasan melihat orang renovasi rumah, kebayang kan, gimana wajahnya nanti?"
"Hi-hi-hi, kita lihat saja nanti." Aku dan Rindu terkekeh geli karena membayangkan wajah Tante Dira yang masam saat melihat kebahagiaan saudaranya yang selalu disebut madesu ini.
"Ibu-ibu, lihat ini, bagus kan motor saya, menantu saya baru membelinya hari ini, lebih bagus dari motornya anak janda itu, kan? Ya, jelas lah, bagus! Menantu saya itu konglomerat, yang punya perusahaan di mana-mana, beda sama menantu yang itu!" Lagi suara Tante Dira melengking tinggi mengejek ibuku.
"Jangan diladeni, ayo, kita masak saja." Aku menarik lengan Rindu dan membawanya ke dapur. Suara Tante Dira terdengar mengecil setelah kami berada di dapur.
"Bikin kesal saja!" gerutu Rindu.
"Orang seperti itu bagusnya jangan dibalas dengan emosi, karena mereka akan semakin senang melihat kita emosi. Kita main cantik saja, kita buat mereka kebakaran rambut karena melihat kita bahagia."
______
"Tadi, sepulang dari sekolah, Ranti melihat Kak Dwi sudah ada di rumahnya, saat Ranti sapa Kak Dwi hanya diam saja," ungkap Ranti.
"Mungkin, Kak Dwi tidak melihat dan tidak mendengar sapaanmu, besok Kak Jelita akan pergi ke rumahnya,"
"Sahabatmu yang baru melahirkan itu?" tanya Mas Ridwan.
"Iya, Mas, besok kita ke sana lagi ya?" Mas Ridwan mengangguk menanggapi.
Tok!
Tok!
Tok!
"Itu pasti Tika, biar Kak Jelita yang buka pintunya," ucapku saat Rindu akan melangkah ke depan.
"Assalamualaikum!"
"Wa'alaikumsallam!" Aku menjawab salam sambil berjalan menuju pintu utama.
"Hai," sapa Tika saat aku membuka pintu lebar-lebar.
"Silakan masuk,"
"Terima kasih,"
"Sama-sama, ini anak kamu?" tanyaku sambil mengelus kepala anak laki-laki dan perempuan yang aku perkirakan sudah berumur tujuh tahun. Mereka berdua pun menyalami tanganku.
"Iya,"
"Kembar?"
"He-he, tidak kok, mereka berjarak satu tahun, ini Denis dan ini Devi, kelihatan kembar ya, kan?"
"Iya, aku pikir mereka kembar tidak identik lho, ayo, masuklah."
Kami berjalan beriringan menuju dapur.
"Malam, Pak Ridwan," ucap Tika, Mas Ridwan menanggapi dengan seulas senyum.
"Jhoni tidak ikut? Kenapa nomornya tidak aktif?" tanya Mas Ridwan.
Tika tampak menghela nafas panjang. "Sudah satu bulan terakhir ini, Mas Jhoni tidak pulang ke rumah kami, Pak," jawab Tika.
"Kita makan dulu, nanti kita lanjutkan lagi obrolannya." ucapku, dan duduk di samping Mas Ridwan.
"Iya, silakan dimakan, Nak Tika, jangan malu-malu," kata Ibu menawarkan makanan pada Tika dan kedua anaknya.
_______
"Ada yang ingin saya tanyakan kepada, Pak Ridwan," ucap Tika. Tika langsung berbicara sesaat kami semua sudah selesai makan dan mencuci tangan di kobokan.
"Apa yang ingin kamu tanyakan? Tanyakan saja," sahut Mas Ridwan sambil mengelap mulutnya menggunakan tisu.
Tika tampak diam seraya menunduk sejenak, lalu mendongak kembali menatapku dan Mas Ridwan bergantian.
"Maaf, kalau saya lancang, ini menyangkut masa depan anak-anak kami juga," ucap Tika dan kembali menunduk lagi.
Ada apa dengan anak ini? Bikin aku penasaran saja mendengarnya.
"Kita duduk di ruang depan saja, biar enak ngobrolnya," ajakku, dan bangkit dari kursi meja makan.
Seperti biasanya, Ranti dan Rindu akan langsung berkemas membereskan dapur dan mencuci piring kotor sebelum mereka tidur malam.
Setelah duduk di ruang keluarga. Aku pun meminta Tika untuk berbicara dengan jelas, tanpa membuat teka-teki yang membuatku dan Mas Ridwan bingung.
"Ga-gajinya Mas Jhoni kapan dibayar? Maaf," ucap Tika. Aku dan Mas Ridwan saling melempar pandangan. Gaji apa yang sedang dibicarakan Tika?
"Gaji? Gaji apa yang harus saya bayar?" tanya Mas Ridwan, Mas Ridwan sama bingungnya denganku. Walau aku tidak terlalu ikut campur soal gaji karyawannya. Tapi, aku tahu kalau Mas Ridwan pasti menggaji semua karyawannya tepat waktu di tanggal dua lima.
"Bicara lah, Tika, jangan bikin kami berdua kebingungan," kataku, kulihat wajah Tika menegang dan terlihat sangat cemas.
"Bukan nya, gaji Mas Jhoni sudah lima bulan belum dibayar?" tanya Tika.
"Hah? Maksudnya gimana? Lima bulan saya tidak menggaji Jhoni, begitu?" Respons Mas Ridwan jelas sangat terkejut. Bahkan, Mas Ridwan sudah berdiri dari duduknya.
"Kata Mas Jhoni, usaha Pak Ridwan berada di fase sedang tidak baik-baik saja, bahkan kata Mas Jhoni, beberapa restoran milik Pak Ridwan juga sudah tutup karena sudah gulung tikar. Bukan tanpa sebab saya menanyakan hal ini, Pak, anak-anak saya tahun ini sudah harus daftar sekolah, sedangkan uang simpanan kami sudah habis untuk biaya berobat dan menutupi kebutuhan kami lima bulan terakhir ini."
"Cerita kan lagi, kami ingin mendengar yang jelas sejelas-jelasnya," ucap Mas Ridwan saat Tika menjeda ucapannya.
"Kebetulan saya tidak sengaja bertemu dengan istrinya, Pak Ridwan, kemarin. Jadi, saya ingin menanyakan langsung tentang gajinya kapan bisa dibayar? Janjinya akan dibayar di bulan kemarin, tapi ini sudah mau dua bulan belum dibayar, totalnya lima bulan belum dibayar," terang Tika kembali sambil menunduk.
Aku masih belum paham dengan ucapannya.
"Saya mau tanya, apa mertuamu masih berada di rumah sakit sekarang?" Mas Ridwan kembali duduk sambil mengatur nafas agar dirinya tidak emosi.
"Tidak, mertua saya sudah meninggal dari tujuh bulan yang lalu," sahut Tika.
Fakta kali ini sangat mengejutkan Mas Ridwan. Mas Ridwan meraih air botol minuman dan meminumnya sampai habis.
"Astagfirullah, apa lagi ini? Dua bulan yang lalu Jhoni meminjam kembali uang dua puluh juta, katanya untuk biaya berobat ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit, dan kemarin dia kembali ingin meminjam uang lagi, tapi saya tidak memberinya, asal kamu tahu Tika, setiap gajinya tidak pernah saya potong hutang-hutangnya yang sudah hampir seratus juta pada saya," jelas Mas Ridwan.
"Seratus juta? Untuk apa Mas Jhoni meminjam uang sebanyak itu? Dan ke mana gajinya selama ini?" Tika terkejut mendengar nominal uang yang sudah dipinjam suaminya.
Aku ingin menjawab, mungkin saja Jhoni sudah berselingkuh. Bisa saja kan? Laki-laki kalau sudah banyak uang pasti lupa diri. Mudah-mudahan Mas Ridwan tidak termasuk dalam golongan laki-laki yang lupa diri.
"Jadi, Pak Ridwan tidak tahu? Kalau mertua saya sudah meninggal?" tanya Tika.
"Sama sekali tidak tahu," jawab Mas Ridwan.
"Duh, kepala saya jadi sakit, ternyata, Mas Jhoni sudah banyak berbohong mengenai uang pinjaman dan uang gajinya," ucap Tika sambil memijit pelipisnya. Kasihan sekali melihatnya.
"Pandai sekali Jhoni bermain peran, ke sana bilangnya begini, ke sini bilangnya begitu, setiap gajian selalu minta full karena istrinya akan meminta cerai kalau gajian hanya sedikit, sudah di kasih kepercayaan malah membuatku geram dan ingin menendangnya!" geram Mas Ridwan.
"Apa kamu tidak curiga, Tika? Kalau suamimu ada main lain gitu, punya simpanan gitu?" ucapku, aku menutup mulut setelah mengatakan itu. Wajah Tika langsung memerah setelah mendengar ucapankku.
Aduh! Apa aku sudah salah bicara?
BERSAMBUNG...
Cerita ini sudah tamat di aplikasi KBM App.
Nama pena : anisah1797

LAWAN MAIN SUAMIKU

 


MULUTKU DIL3MPAR GELAS HINGGA BERDARAH-DARAH, SAAT AKU SEDANG MENGUCAPKAN IJAB KABUL DENGAN S3LINGKUHANKU
Penulis : Eniky
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, saudara Emir Nur Oktafian bin Muhammad Rayhan, dengan putriku, Anggun Puspa Regita binti Nugraha Sanjaya dengan mas kawin logam mulia seberat lima kilogram beserta uang senilai satu miliar rupiah, dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan--"
Ucapanku seketika terhenti begitu saja, saat aku merasakan ada sebuah benda keras yang tiba-tiba saja sudah menghantam mulutku dengan begitu kerasnya.
Pyar!
Semua terjadi begitu cepat. Dan saat aku menyadari, ternyata yang baru saja terlempar ke arah mulutku, adalah sebuah gelas, yang saat itu pula langsung pecah. Bukan hanya gelasnya yang pecah. Bibirku bahkan juga pecah-pecah dan penuh darah.
Masih belum bisa aku mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi, tiba-tiba saja aku merasakan rasa perih yang teramat sangat di kedua pipi.
Plak! Plak!
Plak!Plak!
Ternyata, Sephia pelakunya. Dia datang mengacaukan segalanya.
Dia men*mpar pipiku sebanyak dua kali. Kanan dan kiri. Bahkan bukan hanya aku yang ditamparnya. Anggun pun juga.
Tidak hanya sampai di situ. Sephia pun melempar kue pernikahan yang ada, tepat di wajah calon istriku. Tentu saja, Anggun pun menjerit-jerit tidak karuan.
Tidak puas sampai di situ, Sephia bahkan juga menarik rambut calon adik madunya. Ditarik sekuat tenaga, hingga jeritan Anggun pun kembali menggema.
"Dasar jal*ng! Bisanya merebut suami orang! Apakah kamu sudah tidak laku, hingga sampai laki-laki yang sudah punya anak pun, mau kau jadikan sebagai suami sirimu?"
"Ha ha ha ... aku lupa, jika memang kamu sudah tidak laku. Siapa juga laki-laki yang mau dengan perempuan s*ndal bekasnya banyak orang sepertimu!"
"Gayanya saja. Di depan kamera sok kecantikan. Sok ramah. Sok dewasa. Tapi kelakuan kamu aslinya bejat, tidak terkira. Cuih!"
Wajah yang sudah belepotan penuh tumpahan kue pernikahan, kini diludahinya berkali-kali.
"Ini tidak seberapa, dibandingkan dengan rasa sakit hatiku, akibat dari kelakuan murahanmu. Aku dan anakku terlantar. Disia-siakan oleh seseorang yang seharusnya memberikan kenyamanan. Semua gara-gara kamu! Dasar perempuan gatal!" Sephia menampar lagi sebanyak dua kali.
Perempuan yang kunikahi beberapa tahun yang lalu itu, bahkan juga menarik kebaya yang tengah dipakai oleh calon istriku. Hingga kebaya itu robek, terbelah, tak lagi menyatu.
Aku berusaha membela Anggun. Kupeluk tubuh calon istri mudaku itu. Namun tubuhku justru didorong dengan sekuat tenaga oleh Sephia, hingga aku terjatuh begitu saja.
Setelah mengerjai Anggun, ibu dari anak-anakku itu sepertinya belum memperoleh kepuasan juga. Tenaganya seolah muncul berkali-kali lipat dari biasanya. Kini dia mengamukku sambil berteriak mengataiku yang tidak-tidak. Binatang hina berkaki empat, pun dia katakan sambil berteriak.
Sisa kue pernikahan, kemudian mendarat tepat di wajahku, juga mendarat di wajah beberapa kerabatnya Anggun.
Sepatunya dilepas begitu saja. Dia pukulkan tepat mengenai wajahku. Hingga bibirku yang sudah berdarah-darah, kini bentuknya sudah menyerupai entah.
"Kamu laki-laki tidak tahu diri! Tidak ingat, bagaimana dulu kamu itu siapa? Mengemis cintaku sampai sebegitunya. Dan sekarang setelah kamu berada di atas, kamu lupakan begitu saja pengorbananku!"
"Anak sehat, tega-teganya kamu bilang sakit. Hanya untuk kamu jadikan alasan, supaya kamu bisa menggaruk perempuan gatalmu itu! Dasar laki-laki bejat! Tidak tahu diri! Aku sumpahi kamu, semoga tidak panjang, umurmu!"
Sephia benar-benar seperti orang kesetanan. Wajahnya terlihat merah padam, dengan tatapan mata yang senantiasa tampak nyalang.
Dia mengambil beberapa gelas dan piring hidangan, dan dilempar-lempar ke sembarang arah. Dibanting-banting dengan penuh amarah.
Suasana menjadi gaduh. Prosesi pernikahan yang kuharap akan berjalan hikmat dan penuh kebahagiaan, tiba-tiba berubah menjadi kacau balau tidak karuan.
"Kenapa kamu diam saja, Mas? Kamu itu laki-laki. Harusnya kamu didik istri kamu, supaya dia tidak ngelunjak, menginjak-injak harga dirimu! Ini sudah kriminal! Perbuatannya sangat membahayakan. Bisa-bisa aku mati konyol, jika kamu tidak segera memberikan pelajaran kepada istrimu yang kurang ajar itu!" Teriakan Anggun, menyadarkanku.
Ya, kenapa dari tadi aku diam saja? Bukankah dia hanya seorang perempuan yang lemah?
Aku pun lekas mendekati perempuan bar-bar itu. Kutarik bajunya dengan sekuat tenagaku. Hingga saat tubuhnya kudapatkan, aku ingin sedikit memberikan pelajaran. Akan kubanting dia ke lantai.
Namun belum juga niatku terlaksana, belum juga aku sempat membantingnya, tiba-tiba saja dari arah pintu luar sudah masuk beberapa orang laki-laki yang jumlahnya melebihi jumlah kami yang ada di sini.
Alhasil kami kalah telak. Sephia pergi beserta orang-orang yang datang bersamanya, setelah mengacaukan segalanya.
Dia pergi tidak dengan tangan kosong. Lima kilogram logam mulia yang hendak kujadikan sebagai mahar, juga buket raksasa yang berisi uang satu miliar, dia bawa serta bersamanya. Tidak hanya itu. Bahkan ponselku yang masih tersembunyi saldo m bankingku, juga telah dirampasnya.
Ini hanya cuplikan.
Cerbung ini sudah ending di KBM app, hanya 51 bab saja.
Link ada di wall fbnya Eniky
Judul : LAWAN MAIN SUAMIKU
Penulis : Eniky
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:

Sabtu, 03 Juni 2023

Misteri Rumah Sangit

 Rumah Sangit



MISTERI RUMAH SANGIT

“ Masuknya diundang, pamitnya dilarang”

Saya hendak menyelamatkan sahabat saya yang akan dikorbankan keluarganya lewat pesugihan kepada iblis, tapi ternyata itu hanya jebakan untuk mengorbankan diri saya sebagai tumbal iblis.


Misteri Rumah Sangit Episode-1: Mencari Sahabat yang Minta Tolong

Rumah Sangit


Ini pengalaman hidup saya pada tahun 2019, yang tidak pernah saya harap akan terjebak mengalaminya begini… Hidup saya saat itu seperti mimpi buruk… Mimpi buruk yang masih menghantui saya sampai hari ini…

Saya berharap sore itu harusnya tetap diam saja di rumah. Saya berharap sore itu terus saja belajar untuk lulus kuliah, di kamar saya yang hangat dan nyaman. Namun, sore itu saya malah pergi ke rumah teman kuliah saya, namanya Wening.

Pada sore itu, lewat aplikasi chatting Wening tiba-tiba mengirim sebuah video ke saya… Satu video mengerikan yang waktu itu membuat saya nekad menempuh perjalanan jauh dari rumah saya ke alamat rumahnya yang saya ketahui berada di daerah Patahan.

Wening: Tolong… Saya akan dikurung di kerangkeng… akan dikorbankan!!
Jangan!! Jangan!! Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning,
Nang, Ning, eu!!”


Dalam video itu, Wening tampak sangat ketakutan, dan anehnya… dia malah menyanyikan lagu kanak-kanak yang misterius itu keras-keras, sebelum kemudian videonya berhenti.

Saya: Ning, aku ke rumah kamu sekarang!!

Maka, sore itu saya tiba dan berdiri di depan pintu rumahnya. Saya cuma tahu alamat rumahnya yang pernah Wening bilang, tapi belum pernah ke rumahnya sebelum ini… Tadi di tengah jalan setelah masuk daerah Patahan, saya sempat kebingungan… Untung tadi saya berpapasan sama seorang ibu yang bisa menunjukkan jalan ke rumah keluarga Wening. Barusan saya sudah mengetuk pintu rumah ini, tapi tidak ada jawaban…

Saya hendak mengetuk pintu depan ini sekali lagi. Kalau masih tidak ada jawaban, saya mau pulang saja… Tapi, tiba-tiba pintu di hadapan saya itu dibuka dari dalam.

Seorang pria gagah dalam balutan kemeja dan celana berwarna putih menyambut saya. Pakaiannya agak kotor, seperti baru saja melakukan pekerjaan berat. Raut wajahnya sangat mirip dengan Wening, dan saya pernah diceritakan juga kalau Wening memang punya kakak kembar, namanya Wenang. Pria yang sekarang berdiri di hadapan saya ini.

“Cari Wening, ya?” Wenang tersenyum dan bertanya dengan sopan.

“I-iya… Cari Wening… Ada?” Saya menjawabnya dengan gugup.

“Ada,” jawab Wenang. “Silakan masuk…”

Harusnya saya pulang… Harusnya saya pulang saja… Tapi sore itu saya malah melangkah masuk ke rumahnya.

Ruang tamunya dipenuhi aroma wangi bunga sedap malam, yang suka tercium di kampus… yang suka tercium tiap kali saya bersama Wening di kampus… Memang ada sebuah vas penuh batang bunga sedap malam di atas meja di ruang tamu ini, dan di sebelahnya ada sebuah radio tua.

Radio tua ini mengalunkan siaran berita dari posisinya di antara deretan figura foto keluarga, yang berisi wajah Wening, Wenang, dan ibu mereka. “…Dilaporkan banyak keluarga diduga terlibat dalam pesugihan, yang mengorbankan orang-orang terdekat kepada iblis. Sehingga menyebabkan banyaknya laporan orang hilang…”

Tangan Wenang tiba-tiba menurunkan volume siaran radio itu, dan lanjut berkata, “Silakan lewat sini…”

Wenang menunjuk sebuah pintu di ujung ruangan, yang sepertinya menghubungkan untuk masuk ke ruangan lainnya di rumah ini.

“Oh, iya…” Mengangguk demi kesopanan, saya pun mendekat ke pintu itu.

Wenang membukakan pintu itu untuk saya. “Wening ada di kamarnya. Kamu bisa lewat sini, sekalian bertemu teman-temannya dulu…”

Saya tidak mengira kalau ada teman-teman Wening lainnya yang juga sedang ada di rumah ini. Saya pikir, bagus juga kalau lagi ramai…

“Iya, Kak…” Saya lantas melangkah melewati ambang pintu yang dibuka Wenang. Tapi, ruangan itu gelap, “Kak, lampunya masih mati…”

Satu tangan Wenang masih memegangi kenop pintu, sementara satunya lagi bergerak menyalakan lampu. Ruangan ini pun menyala, meski lampunya remang-remang. Ternyata ini sebuah gudang… Gudang yang penuh dengan tumpukan pakaian berdarah!!! Aromanya bau gosong dan amis menyengat!!!

Seketika Wenang menutup pintu di belakang saya, dan menguncinya. Saya gemetar ketakutan, dan spontan menjerit sekuat tenaga. “HEY!! WENANG!! KENAPA DIKUNCI?! TOLOOONNGG…!!! WENANG, KELUARKAN SAYA DARI SINI!!!”

Saya menggedor-gedor pintu di belakang saya. Tapi, Wenang masih menguncinya. Hanya terdengar suara Wenang dari balik pintu. “Silakan menunggu jadi tumbal berikutnya…”

Misteri Rumah Sangit Episode-2: Menembus Gudang Darah Teman

Rumah Sangit


“TOLOOONNGG…!!” Saya menggedor pintu masuk gudang ini. Saya sangat menyesal masuk sini. Terlebih saya marah pada Wenang yang menjebak saya di gudang berdarah ini!

Tempat apa ini?! Kenapa rumah mereka menyimpan pakaian bekas mayat?! Apa maksudnya ini semua teman-teman Wening?! Mereka menjebak saya di sini?! Apa Wening sengaja menjebak supaya saya ke rumahnya ini?! Saya enggak mau mati di sini!!

Di dalam gudang ini sungguh bau sekali… Bau gosong dan bau darah… Penuh tumpukan pakaian seperti bekas mayat… dan ada juga sebuah kursi goyang yang bersimbah darah di antara tumpukan pakaian ini…

Saya takut sekali… Saya tidak mau bernasib begini… Saya tidak mau hanya tinggal pakaian saya yang berdarah di sini… Saya tidak kuat, ingin muntah… Ingin pergi dari sini!! Saya tidak mau mati di sini!!

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Saya menyadari, ada suara seseorang menyanyikan lagu misterius ini di sini.

Dekat celah pintu yang terbuka di seberang sana… Ada seseorang… Ada seseorang yang meringkuk dalam kegelapan gudang ini… Seseorang yang meringkuk, dengan kedua tangan terpasung di pundaknya!!
Pandangan saya pun menangkap adanya sebuah pintu kayu yang tampak sedikit terbuka di seberang saya… Kalau pintu di belakang saya ditutup dan dikunci, mudah-mudahan pintu di seberang itu bisa jadi jalan keluar saya!!

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Sosok manusia yang meringkuk dengan pasung kayu mengunci kedua tangannya di pundak ini betul-betul sedang menyanyikan lagu misterius itu! Kenapa?!

Pelan-pelan saya bergerak menyusuri dinding, menghindari tumpukan pakaian berdarah dan gosong dengan kursi goyang di tengah gudang. Sepanjang dinding ini pun ada banyak pakaian berdarah yang tergantung… Seolah semua pakaian ditinggalkan tubuh manusianya menguap begitu saja.

Banyak juga pakaian yang menempel di atas saya, sudah tidak ada tubuhnya tapi tetap meneteskan darah… Pakaian siapa ini?! Sungguh mengerikan!! Apa yang mereka lakukan di sini?! Pembantaian di rumah Wening?!

“Nang, Ning, Ning, Nang…” Sosok manusia berpasung kayu itu tiba-tiba berhenti membisikkan nyanyian, dan matanya melirik saya…

Saya terkesiap keras, saking kaget jadi seperti memutus napas saya sendiri. “Halo?” Saya coba memanggilnya, sambil terus mendekat.

“NANG, NING, NING, NANG, NING, EU!!!!!!!!” Sosok manusia berpakaian gosong dan berdarah dengan pasung kayu ini tiba-tiba melompat, bangkit, dan mengejar saya.

“AAARRGGHHHH!! TOLOOONNGG!!” Rasa takut mencabik-cabik jiwa saya dengan dahsyat. Saya spontan berlari menghindari manusia terpasung itu, berputar ke arah yang berlawanan.

“TOLOOONNGG!!” Saya terus menjerit sambil menghindar, tapi terjatuh dan mendarat di tumpukan pakaian berdarah yang bau gosong ini.

Panik, saya buru-buru bangkit. Namun, tubuh saya malah terjebak dan jadi seperti berenang di tumpukan pakaian bau gosong dan berdarah ini. Sementara manusia mengerikan yang menyerang saya juga terus berusaha mendekat dan menyerang saya.

Saya mau menyerah!! Saya tidak mau mati gara-gara dia!! Saya tidak mau mati di sini!! Saya harus terus mendekat ke pintu keluar yang terbuka itu…

Saya terus menjerit sekuat tenaga, mengharapkan bantuan, entah dari siapa. Sambil saya terus bergerak keluar dari tumpukan pakaian mengerikan ini, dan menggapai ke arah celah pintu yang terbuka di sana.

Seketika saya menyadari celah pintu itu sudah sangat dekat. Segera saja saya melompat keluar dari tumpukan pakaian dan menggapainya.

“Tolong… Tolong…” Tak disangka, manusia mengerikan berpakaian gosong dalam pasung kayu berdarah yang mengejar saya itu berkata minta tolong.

Saya sudah di ambang celah pintu keluar itu, dan menatapnya. Siapa dia? Apakah… teman Wening? Seperti kata Wenang, ada temanteman Wening di sini… Tapi, kenapa teman Wening begini tersiksa…??

“MATIII!!!” Tiba-tiba manusia berpasung mengerikan ini menggeram keras dan berlari menyerang ke arah saya.

Tanpa pikir-pikir lagi, saya keluar lewat celah pintu yang terbuka ini dan langsung menutup pintunya lagi. Saya spontan mengunci juga pintu ini, agar manusia mengerikan yang terpasung itu tidak bisa mengejar saya, dan terkunci di gudang pakaian berdarah ini selamanya.

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Saya sudah keluar dari Gudang Pakaian Berdarah tadi… Kini saya sadari, di ruangan yang baru ini saya mendengar adanya nyanyian misterius ini lagi…

Hanya saja nyanyian yang ada di ruangan berikutnya ini bukan dari seseorang yang menyanyikannya seperti di gudang tadi… Namun, lagu di sini keluar dari pengeras suara, seperti sengaja diputar keras-keras.

Saya belum tahu guna lagu itu untuk apa… Tapi yang kemudian saya ketahui, dan ternyata yang lebih mengerikan lagi, adalah jalan di hadapan saya sekarang ini diapit oleh sel-sel penjara yang berisi Demit Peliharaan…

Misteri Rumah Sangit Episode-3: Menyusuri Penjara Demit Peliharaan

Rumah Sangit

Wening suka menceritakan kisah-kisah horor. Pernah suatu hari di kampus ia bercerita bahwa di daerah Patahan, tempat rumah orang tuanya berada, banyak yang memelihara demit. Katanya untuk membantu manusia yang ingin cepat mendapatkan obsesinya melalui ritual pesugihan kepada iblis.

Akhirnya saya teringat dan menyadari, ternyata cerita Wening tentang pesugihan di daerah rumah orang tuanya itu nyata terjadi di keluarganya. Di depan saya sekarang ada lorong yang diapit oleh dua barisan penjara, isinya makhluk-makhluk bertampang mengerikan dengan tubuh dan taring yang seperti terbuat dari api membara. Anehnya, Demit-demit Peliharaan ini tampak tenang dalam sel penjara mereka masing-masing, sama sekali tidak terganggu oleh saya yang barusan masuk ke lorong di tengah penjara mereka. Anehnya juga saya merasa aman, asal mereka tidak menyerang…

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang…” Suara nyanyian misteris yang terdengar mengalun dari pengeras suara dalam area penjara ini tiba-tiba berhenti.

Saat itu juga, saya menyaksikan Demit-demit Peliharaan mengaum dan melolong keras. Saya spontan menjerit, dan melangkah mundur… Menyebabkan kaki saya menginjak lantai kayu yang berderit keras. Karenanya Demit-demit Peliharaan ini sekarang menoleh kepada saya.

Panik, saya balik badan dan berusaha membuka pintu kayu asal saya masuk barusan… Tapi, pintu itu juga telah terkunci. Satu-satunya cara saya untuk pergi adalah harus terus lari… melalui deretan penjara Demit Peliharaan ini…

Saya lambat laun menyadari, apakah lagu misterius tadi membuat makhlukmakhluk gaib ini diam dan tenang?? Jadi, saya harus menyanyikannya?!

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu~” Tidak ada salahnya mencoba, maka saya pun pelan-pelan menyanyikannya, mengikuti nada yang saya dengar.

Guncangan tubuh Demit-demit Peliharaan tampak berkurang, seakan tidak lagi berusaha kabur dari penjara gaib mereka. Saya yakini, saya harus terus menyanyi sambil berjalan ke ujung ruangan ini.

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu~ Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu~” Suara nyanyian saya semakin keras, dan langkah saya semakin cepat. Suara lantai kayu yang berderit terdengar semakin keras seiring lari saya.

Namun nyatanya, Demit-demit Peliharaan dalam penjara memang jadi tidak lagi memperhatikan saya. Nyanyian ini seperti mantra magis yang fungsinya untuk menenangkan iblis…

Di tengah jalan, saya betul-betul merasa lelah bernyanyi dan berlari… Nyanyian saya terhenti… dan seketika Demit-demit Peliharaan mengaum, melolong, juga semua menatap kepada saya sambil mengguncangguncangkan sel penjara mereka.

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu! Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu!” Saya buru-buru menyanyi lagi, dan berlari menggunakan sisa-sisa tenaga.

Saya terus berlari… terus bernyanyi… Deretan penjara bebatuan penuh Demit Peliharaan ini seolah tidak ada ujungnya. Saya nyaris menyerah…

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Suara saya semakin pelan… Namun, kemudian saya melihat ada pintu kayu di ujung ruangan.

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Tiba-tiba suara nyanyian misterius dari pengeras suara pun keluar lagi. Jadi, saya tidak perlu lagi menyanyi sendiri… Lagu misterius itu sudah membuat Demit-demit Peliharaan tenang kembali.

Saya pun bisa leluasa segera membuka pintu kayu itu, dan melompat memasuki ruangan yang baru. Menyandar di pintu kayu yang telah saya kunci kembali ini, napas saya terputus-putus, dada saya terasa sesak… Saya menjerit sekuat tenaga, dan menangis melepaskan ketakutan. “AAAAAAAAAAAAAGGGRRRHHH!!”

“Sudah bertemu dengan Wenang?” Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan tua dari tengah ruangan gelap ini.

Saya tersentak, kaget. Tapi kini lampu ruangan ini menyala, dan saya lebih takut lagi, karena apa yang saya lihat di sini…

Saya berada di sebuah dapur dan ruang makan berwarna-warni. Nuansanya sangat kontras dengan ruangan-ruangan gelap dan mengerikan sebelumnya, yang penuh pakaian mayat juga Demit Peliharaan. Di sini banyak makanan hangat dan minuman segar di atas meja makannya, dan pada kursi makan di balik meja itu duduk seorang perempuan tua… Ibunya Wening dan Wenang

Misteri Rumah Sangit Episode-4: Menemui Keluarga Sahabat Pesugihan

Rumah Sangit


Saya bergeming di pintu, dan merasa nyaris pipis di celana. Ruangan ini tampak manis dan hangat, tapi saya takut sekali. Pengalaman buruk saya dengan kematian dan iblis di rumah ini membuat saya tidak bisa berpikir baik tentang ibu ini. Terlebih, ibu ini adalah perempuan tua yang tadi saya temui di tengah jalan ke sini… Ibu yang berpapasan dengan saya dan menunjukkan rumah keluarga Wening ini…

“Ayo, ke sini, ‘Nak…” Ibu Wening memanggil saya untuk duduk bersamanya mengelilingi meja makan itu. Saya diam saja. Saya bahkan tidak sudi mendekat ke meja makan
tempatnya berada…

“Kamu ke sini cari Wening, ya?” tanya ibunya lagi. Saya gemetar hebat, bukan main takutnya.

Ibu Wening tampak tersenyum dan berpenampilan rapi, dengan sikap menyambut hangat, tapi saya tidak yakin ibu ini manusia atau bukan… Kalaupun ibu ini manusia… manusia macam apa yang mengurung iblis, demit, dan membantai manusia di rumahnya?!?!

“Wening biasanya enggak ada di rumah yang ini, karena ini Rumah Sangit, rumah ritual. Tapi, sekarang dia sedang ada di sini. Saya panggilkan Wening, ya…” kata Ibu Wening, suaranya halus tapi membuat tubuh saya sungguh lemas saking ketakutan.

Tiba-tiba ruangan ini tidak lagi berwarna-warni, melainkan berubah menjadi hitam, seperti gosong… Hawanya sangat panas dan bau gosong, dengan tulisan yang bermunculan pada dinding… Banyak angka “1.999” dan dibalik menjadi “666.1” berwarna merah terang muncul pada dinding, seperti ditulis oleh api membara…

Seketika terdengar suara sudut dinding yang didobrak keras!!! Wenang muncul, tetapi wajahnya… wajahnya berubah!! Wajah Wenang kini menyerupai monster… atau iblis?! Wajahnya berubah menjadi sangat mengerikan, dan menyeringai lebar. Wenang masih dalam balutan pakaian putihnya yang kotor, tapi sisi kanan bajunya sekarang dilumuri darah segar!!!
Darah siapa itu?! Darah Wening??!!

Wenang menjilat darah yang menetes-netes dari tangannya, lalu mengelapkan sisa darah di tangannya itu ke bagian dada kanan bajunya. Saya kemudian menyadari, satu tangan Wenang menggenggam tali yang menggantungkan sebuah pasung kayu… dengan ada satu potongan tangan manusia yang masih terpasung!! Apa jangan-jangan… potongan tangan itu…
dan darah itu… adalah dari teman Wening yang disekap di gudang tadi?!!

Di sudut ruang makan ini yang barusan dindingnya ia dobrak, Wenang lantas duduk bersila, dengan satu tangan memegang segenggam penuh batang bunga sedap malam dan tangan lainnya masih memegangi tali pasung kayu.

“Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan… Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan…” Wenang seperti merapal sebuah mantra dengan suara menggeram keras dan mengerikan, sambil menggerakkan segenggam batang bunga sedap malam itu ke arah saya… Dia tampak sedang mengarahkan mantra ritual pada saya!!

Tolong…! Lari… Lari… Lari…! Di tengah kengerian ini, seketika sayup-sayup saya mendengar suara Wening.

Ada sebuah pintu panjang menyerupai lorong yang menyala di sudut lain ruangan ini. Dari situ datangnya suara Wening, “Tolong! Saya di sebelah! Lari! Lari ke sini!”

“WENING?! KAMU DI MANA?!” Saya berteriak, sambil curi-curi pandang ke
arah Wenang yang terus komat-kamit menjalankan ritual di sudut ruangan.

“Di ruangan sebelah! Lari! Lari ke sini!” Suara Wening terdengar berasal dari lorong di samping kanan saya, terus bersahut-sahutan dengan suara teriakan Wenang yang melakukan ritual iblis kepada saya.

“Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan… Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan…” Kepala saya terasa sangat pusing dan berputar-putar. Saya sangat mual, saya mau muntah…

“Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan… Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan…” Wenang masih terus menyerukan mantra ritualnya sambil mengibaskan batang-batang bunga sedap malam ke arah saya, mencipratkan darah…

“LARI!!! MASUK LORONG!!! LARIII!!!” Wening terdengar menjerit penuh rasa putus asa. Namun, suaranya itu seolah memberi kekuatan bagi saya.

Saya secepatnya berlari menuju lorong yang menyala di sana. Wenang ternyata tidak tinggal diam. Melihat saya berusaha melarikan diri, pria itu langsung bangkit dan beranjak dari sudut ritualnya… Wenang menggenggam batang bunga sedap malam dan menyeret pasung kayu berdarah…, mengejar saya.

Dengan sisa-sisa tenaga, saya terus berlari hingga mencapai ujung lorong. Memang ternyata ada ruangan, ada sebuah kerangkeng, dan ada Wening.

“CEPAT ANGKAT BALOKNYAAA!!!” Wening menyambut kemunculan saya dengan suara teriakan yang melolong dan mata yang memelototi saya

Misteri Rumah Sangit Episode-5: Meninggalkan Sahabat di Rumah Pesugihan

Rumah Sangit

“CEPAT ANGKAT BALOKNYAAA!!!” Dari dalam kerangkeng yang puncaknya terbungkus kain merah, Wening berteriak dengan mata memelotot sambil mengguncang-guncangkan jerujinya.

Jeruji itu dikunci menggunakan tiga balok kayu panjang dari luarnya. Wening tidak bisa membukanya sendiri dari posisinya dalam kerangkeng.

“Kenapa… saya harus buka kerangkeng kamu?! Nanti kamu juga nyerang saya! Ngorbanin saya ke iblis kayak keluarga kamu! Nanti kalian bunuh saya juga kayak temen-temen kamu sebelumnya!” Seketika saya merasa curiga.

“Maaf! Saya minta maaf! Saya enggak tau! Saya enggak pernah setuju keluarga saya jadi penyembah iblis, melihara demit! Saya enggak pernah setuju keluarga saya pesugihan! Saya enggak tau kalau selama ini Wenang sering kerasukan iblis untuk pesugihan! Saya juga enggak tau kalau selama ini yang dikorbankan keluarga saya adalah teman-teman saya!” Wening menjelaskan dengan suara gemetar dan air matanya bercucuran.

“Saya enggak percaya lagi sama kamu! Kamu ngejebak saya!” Saya di luar kerangkeng merah ini, berhadapan dengan Wening sambil gemetaran.
“MAAF! Saya sungguh minta maaf! Bantu saya keluar! Saya akan keluarkan kamu dari rumah ini, kalau kamu buka kerangkeng saya!” ujar Wening.

“BOHONG!” Saya menjerit ke wajahnya.

Terdengar raungan suara Wenang yang mengejar saya melalui lorong di belakang, menyeret pasung kayu dengan potongan tangan manusia, dan menggenggam batang bunga sedap malam. Wening pun terlihat semakin panik.

“Cepat angkat balok kerangkeng saya!!! CUMA SAYA YANG BISA SELAMATKAN KAMU DARI WENANG DAN IBU!!!” jerit Wening.

Wenang mengejar saya, akan menjadikan saya tumbal berikutnya. Saya tidak mau berurusan lagi dengannya. Saya hanya mau keluar dari rumah keluarga penyembah iblis ini hidup-hidup!

Buru-buru saya mengangkat balok panjang pertama yang mengunci kerangkeng Wening. Balok itu berat sekaliii!! Tapi, saya tidak mau menyerah pada Wenang yang mau menjadikan saya tumbal pesugihan kepada iblis!!

“Cepaaatt! Saya enggak mau kamu dibunuh kakak saya untuk tumbal pesugihan!!!” Meski panik, Wening menyemangati saya. “Saya mau kamu hidup! SAYA MAU KAMU KELUAR DARI RUMAH SAYA HIDUP-HIDUP!!!”

Kekuatan saya muncul dari ketakutan, sekaligus kesadaran bahwa Wening sepertinya betul ingin saya bisa kabur dari rumah keluarganya yang memuja iblis ini. Saya pun berhasil melepas tiga balok panjang dari kerangkengnya. Sampai akhirnya Wening bisa bebas keluar jeruji yang tidak lagi terkunci.

Wening melompat keluar dari kerangkeng, dan tangannya langsung menyelipkan sebuah amplop putih kotor dan kunci ke tangan saya. “Ambil ini, dan cepat keluar dari pintu itu! Saya akan menahan Wenang supaya enggak menyerang kamu!” Wening menunjuk ke arah pintu kayu di ujung ruangan ini.

Saya melihat sebuah amplop dan kunci yang ditaruh Wening di tangan saya.Saya tahu kunci ini untuk membuka pintu keluar, tapi surat ini… “Surat apa ini?” tanya saya, kepada Wening yang berdiri berhadapan dengan saya.

“Pesan terakhir saya…,” kata Wening. “Kalau nanti saya mati di tangan kakak atau ibu saya… Kamu tetap lakukan apa yang saya tulis di surat itu…”

Wenang muncul di pintu lorong dari ruang makan tadi sambil meraung dan mengacungkan pecut batang bunga sedap malamnya. Tampak siap menerkam saya.

“CEPAT PERGI DARI RUMAH KAMI!! SAYA ENGGAK MAU KAMU MATI!! KAMU SATU-SATUNYA SAHABAT SAYA!!” Wening menangis dan berteriak dengan nada memohon kepada saya, seraya mendorong saya ke pintu.Ning…” Saya menatapnya dengan heran sekaligus sedih. Kenapa dia begini mengorbankan dirinya sendiri demi saya bisa selamat dari rumahnya…

“Ning, kalau kamu bener-bener enggak mau ikut keluarga kamu melakukan pesugihan di sini, kamu bisa ikut saya pergi…” Saya ingin mengajaknya. Dalam relung hati terdalam, saya juga ingin Wening bisa selamat dari sini… bisa selamat dari cengkeraman keluarganya yang melakukan pesugihan.

“Saya harus menahan Wenang supaya dia enggak terus ngejar kamu,” Wening berkata sambil tersenyum, tapi matanya meneteskan air mata. Kemudian, hanya suara nyanyian yang keluar dari mulutnya.

“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Wening menyanyikan lagu misterius ini, sambil balik badan, dan kini ia berhadapan dengan Wenang yang telah sampai memasuki ruangan ini.

Ini satu-satunya kesempatan saya kabur dari rumah keluarga penyembah iblis yang menjebak saya. Saya segera berlari menghampiri pintu kayu yang barusan ditunjuk Wening. Saya membukanya pakai kunci dari Wening, dan ternyata terhubung langsung ke halaman depan rumah, tempat parkir mobil.

Sebelum keluar, saya sekali menoleh lagi kepada Wening. Perempuan itu terus menyanyikan lagu misterius itu di hadapan Wenang. Seolah-olah lagu itulah caranya untuk menenangkan jiwa iblis dalam diri kakak kembarnya.

“Selamatkan dirimu sendiri juga, Ning!” Terakhir, saya berteriak kepadanya, kemudian cepat-cepat berlari keluar dari rumah ini dan masuk mobil saya.

Pintu rumah tetap terbuka, sehingga saya masih bisa melihat apa yang terjadi di ruangan kerangkeng sana… Wenang dan sang ibu betul-betul telah keluar dari lorong dan kini mereka berada di ruangan yang sama dengan Wening. Mereka tampak memelototi Wening dengan penuh amarah.

“INI SALAH KAMU!!!” Wenang berteriak kasar kepada Wening, kemudian memukul adik kembarnya itu pakai batang bunga sedap malam berdarah.

Wenang menjambak rambut panjang Wening, dan menyeretnya masuk kembali ke lorong menuju ruang ritual. Saya sangat kaget menyaksikannya.

Namun, Ibu Wening mendadak menoleh ke arah pintu yang terbuka… ke
arah saya… Saya tidak mau diseret kembali masuk Rumah Sangit ini!

Saya buru-buru mengendarai mobil, pergi jauh-jauh dari Rumah Sangit ini.
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…”