By Cattleya
Tak terasa, sudah tiga bulan Ambar tinggal di Wonosukmo sebagai bidan
desa. Menurut penduduk di sana, itu suatu prestasi, karena bidan-bidan
sebelumnya hanya bertahan paling lama satu bulan. Bahkan ada yang baru
seminggu bertugas sudah hengkang. Selalu saja ada hal-hal aneh yang
membuat para bidan itu ketakutan dan memutuskan untuk pergi.
Sejauh ini, Ambar baik-baik saja, walau selalu merasa ada seseorang yang
mengawasinya. Indra keenamnya berbicara. Meskipun pada kenyataannya,
tak pernah memergoki siapa pun.
Ambar hanya bisa merutuki diri. Mungkin dia kesepian, hingga
berhalusinasi. Kisah cintanya dengan Ranu belum lama ini berakhir pilu.
Meninggalkan kenangan pahit hingga dia merasa harus pergi jauh untuk
melupakannya.
Namun kini, keadaan perlahan mulai berubah. Sejak Seno datang menambal
hatinya yang koyak setelah kepergian Ranu. Seno, seorang guru SD
berwajah tampan. Ternyata, di desa terpencil dekat hutan seperti itu,
ada sosok pria menawan sepertinya. Sejak diri Ambar dekat dengan Seno,
perasaan seperti diintai itu perlahan pudar.
Sebenarnya Seno bukanlah perjaka. Enam bulan yang lalu, istrinya yang
sedang melahirkan dengan bantuan dukun beranak harus menemui ajal. Tapi
bagi Ambar, status Seno yang duda itu tidaklah masalah. Wanita itu
terpesona pada lelaki itu sejak pandangan pertama. Ketika mereka bertemu
pada kenduri yang diadakan kepala desa. Bukan hanya karena wajah Seno
yang tampan, tapi juga sesuatu dalam mata pria itu membuat Ambar seakan
tertarik ke dalam medan magnet. Semakin lama memandang, Ambar semakin
terjebak dalam sesuatu mistis di matanya, yang membuat wanita itu tak
kuasa menghindar. Mereka pun berkenalan, kemudian terjadi beberapa
kebetulan yang membuat semakin dekat. Tanpa disadari, Ambar sudah
demikian jatuh cinta pada lelaki itu.
Ambar, wanita usia dua puluh dua tahun itu kini sedang memasuki ruang
kerjanya, Polindes, pondok bersalin desa. Dengan pelan dia membuka
jendela, menikmati sepoi angin yang
menyapa wajah.
“Ambar!” Suara yang sangat dikenalnya memanggil. Wanita itu membalikkan
badan. Dilihatnya Seno telah berdiri beberapa langkah di depannya,
membawa seikat mawar untuknya. Dia mengganti mawar layu dalam vas bunga
di meja Ambar dengan mawar segar yang baru saja dibawanya. Seno tahu,
sang kelasih sangat menyukai mawar. “Kita jadi pergi nanti siang?”
“Tentu saja.”
“Aku jemput sepulang kerja, ya?”
Ambar mengangguk, memandang punggung lelaki itu menjauh. Rasanya waktu
berjalan begitu cepat. Seminggu lagi dirinya akan menikah dengan lelaki
itu.
***
Siang itu Ambar dan Seno mengunjungi sebuah deretan toko perabot yang
terletak di kota kecamatan. Entah kenapa, Ambar justru tertarik memasuki
sebuah toko perabot bekas. Ada beberapa barang yang tampak istimewa di
sana. Salah satunya adalah ranjang pengantin yang terbuat dari kayu jati
berukir.
“Berapa ini, Pak?” tanya Ambar pada lelaki lima puluh tahunan, pemilik toko.
“Ini? Jika Bu Bidan, mau, saya berikan gratis.”
Ambar terbelalak tak percaya. “Kok gratis, Pak? Apa tidak rugi?”
“Anggap saja ini hadiah pernikahan Bu Bidan dari saya.”
“Dari mana Bapak tahu saya mau menikah?”
Lelaki itu tertawa pelan. “Kita ini satu desa, Bu. Semua orang sudah tahu berita bahagia itu.”
“Oh, maaf.” Ambar mengerling pada Seno. Lelaki itu tersenyum.
“Ini Pak Barata, Mbar. Rumahnya dekat jalan menuju hutan,” kata Seno.
Ambat manggut-manggut. “Baiklah, Pak. Tapi jangan gratis ya, sebut saja
harganya,” kata Ambar merasa tidak enak. Pak Barata pun menyebutkan
sebuah nominal yang sangat murah untuk ranjang jati yang cukup indah
itu.
“Yakin, dengan pilihanmu, Sayang?” bisik Seno. Ambar mengangguk. Seno pun segera membayar ranjang itu.
Ambar tersenyum puas. Kemudian segera meninggalkan toko itu dengan riang.
Pak Barata memandang sejoli itu dengan senyum kebahagiaan. Mata yang
biasanya menyorotkan rasa sedih itu kini tampak berbinar. Usahanya
selama bertahun tahun sebentar lagi akan membuahkan hasil Target telah
masuk ke dalam perangkap.
***
Pernikahan Ambar dan Seno berlangsung sederhana namun sakral. Semua
warga berduyun-duyun memberikan selamat kepada kedua mempelai.
Kebahagiaan menyelimuti hati Ambar. Bisa bersanding dengan pria tampan
dan penyayang itu.
Di kamar pengantin mereka, ranjang jati itu telah mengkilap dipelitur.
Dengan untaian bunga di sana sini. Seprei kuning gading menutup kasur
busa di bawahnya.
“Ayo, Sayang,” Seno mencium pipi Ambar yang ranum kemudian menarik tangan wanita itu ke ranjang. Wanita itu tersipu.
“Sebentar. Aku ke kamar mandi dulu,” kata Ambar sambil melepaskan genggaman tangan sang suami.
“Jangan lama-lama,” kata Seno. Ambar mengangguk seraya keluar kamar.
Sebagai bidan dia ingat betul nasehat dosennya untuk selalu mengosongkan
kandung kemih ketika hendak berhubungan intim. Karena hal itu akan
menurunkan risiko infeksi saluran kemih pada wanita.
Ambar memasuki kamar mandi. Ada aroma aneh yang tercium. Semakin lama,
aroma itu semakin menyengat. Bergegas Ambar duduk di kloset, menuntaskan
hajatnya.
***
Seno tersenyum melihat istrinya memasuki kamar. Tanpa banyak kata
mulailah dicumbui sang istri. Ambar memberikan balasan yang tak kalah
panas. Malam pertama pun berlangsung dengan menggairahkan. Tetesan darah
menempel di seprei. Seno terkapar puas. Matanya terpejam. Senyum
menghias bibirnya.
***
Ambar tersentak. Seperti terbangun dari lamunan yang panjang. Entah sudah berapa lama dia duduk di kloset itu.
Bergegas dipencetnya tombol penyiram WC. Wanita itu tersenyum senang
karena sang mertua menyiapkan rumah dengan fasilitas yang cukup mewah
untuk ukuran sebuah rumah di kampung.
Ambar berjalan ke kamarnya dan mendapati sang suami telah tertidur.
Enggan membangunkan, dia pun segera naik ke ranjang. Tampak beberapa
tetes darah menodai sepreinya. Keningnya berkerut hebat. Apa yang
sebenarnya terjadi? Dilihatnya wajah sang suami yang tampak tersenyum
dalam tidur.
Ambar memutuskan untuk berbaring di sisi suaminya dengan tanya yang berkecamuk dalam dada.
***
Adzan Shubuh berkumandang. Seno terbangun dan melihat istrinya masih tertidur. “Bangun, Sayang,” bisiknya.
Ambar hanya menggeliat. Wanita itu tak kuasa membuka matanya. Dia batu tertidur dini hari karena perasaan gelisah.
Bidan muda itu terbangun ketika matahari sudah tinggi. Sang suami tak
berada di sisinya. Dengan mata yang masih mengantuk dia menyeret langkah
keluar kamar. Dilihatnya Seno duduk di meja makan yang telah penuh
dengan aneka makanan. Mungkin mertua atau kakak iparnya yang menyiapkan
itu semua.
“Maafkan aku, Mas.” Ambar menghempaskan tubuhnya di kursi.
“Tak apa,” kata Seno sambil mengelus kepala sang istri. “Terima kasih yang tadi malam.” Seno tersenyum manis.
“Apa?” Mata Ambar membelalak.
“Kamu sungguh hot.”
“Kamu mimpi!” Ambar bersungut-sungut.
“Mungkin.” Seno menjawil pipi ranum istrinya. “Kalau begitu, aku ingin
tiap hari bermimpi seperti itu.” Seno tertawa menggoda. Ambar tampak
manyun. Ada hal yang ingin ditanyakannya namun dia merasa sungkan.
Tujuh malam berikutnya, Ambar pun mengalami hal yang sama. Seperti
kehilangan kesadaran saat memasuki kamar mandi dan ketika masuk kamar
mendapati sang suami telah tertidur dengan wajah kelelahan namun
terlihat puas. Juga ada bercak darah di atas seprei.
Sudah seminggu dirinya menikah dengan Seno, namun tak sekali pun dijamah
oleh sang suami. Hal itu membuat Ambar tak tahan lagi menyimpan gundah
hati. Wanita itu menceritakan semua pada sang suami.
“Jadi, selama ini aku melakukannya dengan siapa?” Seno diliputi
kengerian. Bulu kuduknya merinding membayangkan dirinya bercinta dengan
sesuatu yang tak kasat mata.
Ambar menggeleng. “Tahukah Mas kenapa aku mengganti sepreinya tiap hari? Ada bekas noda darah di sana.”
Seketika wajah Seno memucat. Bulu kuduknya semakin meremang hebat.
“Ambar, bagaimana kalau kita jangan berhubungan intim dulu sampai
misteri ini terkuak?”
Ambar mengangguk. Tiba-tiba dia merasa gerak-gerik mereka diintai.
***
Rumah kecil di dekat hutan terlihat sepi. Pemiliknya, Barata, sedang
membakar dupa dan merapalkan mantra. Menghadap sebuah kerangka manusia
yang diberinya gaun putih berenda. Sementara malam, bulan, dan lolongan
srigala saling melengkapi sebentuk kengerian.
“Sebentar lagi, Nimas. Sebentar lagi kita akan bersatu kembali. Seperti
dulu.” Barata berbicara pada kerangka istrinya, yang meninggal dua puluh
tahun lalu.
Dengan ilmu yang telah didapatnya dari seorang pertapa sakti, Barata
akan menghidupkan kerangka istrinya. Mencuri jiwa sepasang pengantin
yang mempunyai tanggal lahir seperti mereka berdua.
Perlahan, kehidupan dalam diri Seno akan dihisap tubuh Nimas, melalui
persetubuhan yang mereka lakukan di atas ranjang keramat mereka.
Kerangka Nimas digerakkan oleh mantra sakti yang dirapalkan Barata. Mantra itu juga bisa membuat Nimas menyerupai sosok Ambar.
Malam mulai larut. Nimas sudah bangkit dari tidurnya. Memandang sang
suami sekilas dan dalam sekejap mata sampai di kamar Ambar dengan
menembus dinding-dinding yang ada.
Tampak oleh Nimas, Ambar dan Sena telah tidur berpelukan. Mantra sirep
yang dikirim Barata sebelum Nimas memasuki kamar telah bekerja sempurna.
Dia tahu, sepasang suami istri itu masih ingin berjaga untuk menguak
misteri sosok Ambar palsu. Namun kini mereka telah dibuat tidak berdaya.
Nimas melintas di depan kaca rias. Dia berhenti sejenak. Memandang
wajahnya di cermin. Kerangkanya sudah mulai ditutupi daging. Matanya
tampak melotot tanpa adanya kelopak dan kulit yang menutupi wajah serta
seluruh tubuhnya. Dia harus bersabar. Empat puluh hari setelah bercinta
dengan Seno, tubuhnya akan menjadi sempurna. Dilengkapi dengan tetesan
darah Ambar, maka jiwanya akan terlahir kembali.
Tak membuang waktu, dengan acungan telunjuknya, tubuh Ambar berpindah ke
sofa. Nimas membangunkan Seno. Dengan kekuatan mistis, membuat lelaki
itu tak bisa menguasai diri. Dia mencumbui tubuh Nimas dengan penuh
gairah.
Setelah selesai, Nimas mengembalikan tubuh Ambar di posisi semula.
Sementara Seno merasa telah bermimpi bersetubuh dengan istrinya.
***
Ambar menatap wajah sang suami, pucat seperti kurang tidur, atau kurang darah.
“Mas, kamu seperti nggak sehat.”
Seno memandang wajahnya di cermin. Sepertinya Ambar benar, dirinya tidak sehat. Tubuhnya pun terasa lemah.
Ambar segera memeriksakan suaminya ke dokter. Seno didiagnosis menderita
anemia dengan penyebab yang belum dapat dipastikan. Lelaki itu tak mau
dirawat di rumah sakit meski dokter menganjurkan.
Kini, Ambar hanya terpaku memandangi tubuh sang suami yang terbaring
lemah di ranjang. Hatinya gelisah. Merasakan ada yang salah dalam
pernikahan mereka. Bahkan sampai detik itu Ambar masih perawan dan
suaminya menderita sakit yang aneh.
Orang tua Seno sangat kuatir dengan keadaan anaknya. Karena pengobatan
medis tak menunjukkan hasil, mereka sepakat memanggil seorang
paranormal.
Paranormal yang dipanggil orang tua Seno mengatakan, kalau lelaki itu
sedang diguna-guna. Dia memberikan jampi-jampi dan penangkal di sekitar
ranjang yang ditiduri Seno.
Penangkal yang mengelilingi ranjang Seno hanya membuat Nimas yang datang
malam harinya merasa sedikit terganggu. Dengan kesaktian yang dimiliki
Barata, Nimas bisa menembus rintangan yang dibuat paranormal itu.
Kembali makhluk itu menyetubuhi Seno dengan penuh kenikmatan. Tubuhnya
menjadi bertambah segar. Namun, Seno hanya merasa bermimpi tengah
bercinta dengan sang istri. Lelaki itu tak merasa aneh. Dia mengira
mimpi itu terjadi karena dirinya menahan keinginan bercinta dengan
Ambar.
Di malam ke empat puluh, Nimas datang untuk menggenapi syarat. Seno pun
menghembuskan nafas terakhir setelah bercinta dengan Nimas. Lelaki itu
terbujur kaku kehabisan darah. Semua energi kehidupannya telah diambil
dengan purna. Pagi harinya sang istri terkejut ketika mendapati Seno
sudah tak bernyawa lagi. Tangisnya pun pecah penuh kepiluan.
Duka dan kegelisahan menyelimuti hati bidan muda itu. Segala keanehan
yang terjadi diungkapkannya pada sang mertua. Namun, orang tua Seno
tetap berpendapat bahwa semua itu karena guna-guna. Mereka berharap
Ambar bersabar atas musibah itu.
“Ibu, besok pagi saya akan kembali ke kota,” kata Ambar pada sang mertua.
“Ambilah cuti beberapa waktu, sampai dirimu tenang,” kata sang mertua sampil membelai rambut Ambar.
“Maksud saya, saya ingin berhenti menjadi bidan di sini.”
Sang mertua memandang wajah Ambar dengan sendu. Wanita tua itu cukup
memahami trauma yang dirasakan Ambar. “Semoga kamu kembali ke sini, Nak.
Desa ini membutuhkanmu.” Sang mertua memeluk Bidan muda itu. “Sekarang,
tenangkan dulu hatimu.”
Ambar mengangguk. Terisak dalam pelukan ibu mertua.
***
Malam itu terasa amat sunyi. Para pelayat dan orang-orang yang tahlilan
sudah beberapa saat lalu pergi. Ambar membuka lemari dan mulai
mengeluarkan baju-baju miliknya untuk dimasukkan ke dalam koper. Sejenak
dia memandang foto pernikahannya. Wajah mereka tampak bahagia. Kini
kebahagiaan itu telah direnggut paksa entah oleh siapa.
Ambar mendesah. Memandang sekilas jarum jam yang menunjukkan pukul dua
belas malam. Dirinya baru saja hendak merebahkan badan ketika mendengar
suara ketukan di pintu. Mungkin itu mama mertua yang malam ini tidur di
rumahnya. Walau rumah mertua hanya berada di sebelah.
Ambar turun dari ranjang dan membuka pintu. Tampak sosok mengerikan
dengan mata melotot tanpa kelopak dan otot-otot tubuhnya tak tertutup
kulit. Ambar menjerit. Berusaha mendorong makhluk itu dengan kotak tisu
yang secara serampangan diraih dari meja riasnya, kemudian berlari ke
kamar sang mertua untuk mencari bantuan. Namun mama mertua tak membuka
pintu meski gedoran di pintu cukup keras hingga tangannya sakit.
Merasa tak mungkin mengharapkan sang mertua, Ambar lari menuju pintu
belakang, keluar dan mulai berteriak-teriak, berharap para tetangga
bangun. Namun, sampai serak suaranya, tak ada seorangpun yang keluar
dari pintu tetangga. Sementara makhluk mengerikan itu mengikutinya dari
belakang.
Ambar berlari ke arah pos ronda, namun sepi. Hasip yang biasanya
berjaga, tak kelihatan batang hidungnya. Ambar terus berteriak dalam
keremangan malam yang disinari bulan purnama. Di pertigaan jalan, muncul
Barata dengan pedang terhunus dan sosok Seno yang menyerupai mayat
hidup.
Ambar terus berlari dan berteriak. Meski teriakannya seperti angin lalu.
Desa itu seperti desa mati tanpa penghuni. Langkahnya terseok. Lelah
membuat otot-otot kakinya melemah, larinya melambat.
Tanpa terasa Ambar sampai di sisi hutan. Jalannya buntu. Satu-satunya
tempat bersembunyi hanya hutan yang masih dipenuhi ular berbisa dan
binatang buas lainnya. Wanita itu nekat memasuki hutan. Bibirnya tak
lagi berteriak. Bidan muda itu mulai pasrah. Merapalkan doa-doa yang
dihafalnya, sambil terus berjalan masuk hutan. Batang-batang tanaman
perdu menggores kakinya. Perih tak lagi terasa. Kalah oleh rasa takut
pada mahluk tanpa kulit yang mengerikan itu, juga Barata yang membawa
pedang serta mayat hidup Seno.
Dalam kepanikannya, bidan muda itu mencoba memahami apa yang terjadi.
Namun nihil. Otaknya tak mampu memberikan jawaban atas semua keanehan
ini. Perlahan air matanya meleleh. Dia merasa kematiannya semakin dekat.
Ambar menghentikan langkahnya. Duduk di akar besar sebuah pohon. Kakinya
tak kuat lagi berjalan. Wanita itu berusaha melihat sekeliling. Namun
hanya kegelapan yang ada. Rimbun tanaman tak mampu ditembus cahaya
bulan.
Setelah cukup beristirahat, Ambar kembali berjalan tak tentu arah. Kali
ini dia berada di tempat yang pohonnya tak terlalu rimbun. Kini tampak
di depannya sebuah jurang.
“Menyerahlah, Bu Bidan.”
Suara itu mengejutkan Ambar. Wanita itu berbalik. Tampak di depan, Barata dengan pedangnya yang berkilat ditimpa cahaya bulan.
“Apa yang kamu inginkan dariku!” teriak Ambar.
“Aku hanya ingin nyawamu, untuk menghidupkan istriku!”
“Kau gila! Jadi monster itu istrimu?” Ambar kini mulai memahami apa yang
terjadi. Tapi kenapa harus dirinya dan sang suami yang dijadikan
tumbal?
“Diam! Serahkan saja nyawamu!”
“Tidak akan!”
Barata tertawa. Meningkahi lolongan serigala di kejauhan. Tiba-tiba
muncul makhluk itu di sisi kirinya dan Seno yang sudah berwujud mayat
hidup di sisi kanannya. Tak ada jalan untuk melarikan diri. Kecuali
jurang di belakangnya.
“Bertaubatlah, Pak Tua, jalanmu sesat!” Ambar berusaha melawan dengan kata-katanya. Berharap keajaiban akan terjadi.
“Jangan mengajari orang tua!” Barata mendengkus kesal. Perlahan dia
mulai berjalan mendekati wanita yang ketakutan itu. Zombi dan makhluk
tak berkulit itu pun kian mendekat. Ambar merasakan tubuhnya gemetar dan
dingin. Jantungnya berdetak cepat. Pandangannya tak sekejap pun lepas
dari tiga mahkluk itu.
Dalam keadaan terdesak, Ambar cepat membuat keputusan, sebelum semua
terlambat. “Ya Allah, ampunilah segala dosaku,” ucap Ambar sambil
melompat ke jurang. Lebih baik dirinya mati di sana daripada menyerahkan
hidupnya pada iblis.
Air mata wanita muda itu meleleh di pipi. Tubuhnya terus melayang ke bawah. Mungkin inilah akhir riwayatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar