Cerpen By Cattleya
Arjuna melintas di kelas XI
MIPA-3. Karena tingginya yang mencapai seratus tujuh puluh sentimeter,
dia bisa melihat hampir seisi kelas melalui jendela kaca yang tidak
terlalu tinggi.
Matanya tertumbuk pada sosok gadis yang duduk di sudut kelas. Gadis
berambut panjang dikepang dua. Berkacamata bingkai hitam tebal. Gadis
itu berdandan seperti siswi di era tujuh puluhan.
Dia menoleh, menatap Arjuna dengan sorot mata benci. Cowok itu terkesiap. Hatinya tiba-tiba dipenuhi rasa tidak enak.
Arjuna mempercepat langkah menuju kelas XI MIPA-5, kelasnya, kemudian
duduk di kursi dengan wajah penuh tanya. Dadanya berdebar-debar.
“Hei, Don Juan, kenapa kau?” tanya Ririe.
“Rie, kamu kenal nggak sama anak MIPA tiga yang rambutnya panjang dan pakai kacamata?” Arjuna balik bertanya.
“Nggak hafal aku sama anak kelas itu, Guys. Memangnya ada apa?”
“Kayak ada aneh-anehnya gitu,” kata Arjuna. Ririe malah tertawa. “Apaan sih, lu!” Arjuna melotot.
“Habis kayak iklan air mineral.” Ririe tertawa lagi. “Nanti aku coba
tanya Tania yang sekelas,” kata Ririe kemudian. “Lu penasaran banget
sama dia.”
“Tadi nggak sengaja lihat. Tatapannya dingin, seperti sangat membenci gue,” kata Arjuna. “O, ya. Dia duduk di pojok.”
“Jangan-jangan itu mantanmu,” kata Ririe seraya tertawa berderai, bertepatan dengan bel tanda istirahat berakhir.
Guru sejarah masuk kelas. Pelajaran lintas minat. Saat mengantuk bagi
Arjuna dimulai. Untungnya Pak Narto, sang guru, tak terlalu memusingkan
tingkah siswanya di kelas, atau mungkin juga tidak peduli. Barangkali
juga dia sudah hafal tingkah anak-anak di kelas itu yang seolah-olah
mendengarkan dengan hikmad dan memperhatikan guru, padahal sebenarnya
mengantuk. Bahkan ada yang seolah-olah menulis tapi sebenarnya
menggambar wajahnya sebagai tokoh-tokoh kartun. Lebih parah lagi menulis
kata-kata cinta untuk seseorang yang ditaksir di lembar belakang buku
tulis.
Arjuna tak memperhatikan pelajaran yang diberikan Pak Narto. Terlebih
Pak Narto menjelaskannya seperti orang mengantuk. Dia teringat gadis
berkepang dua itu. Apakah dia pernah mengenalnya? Ataukah pernah
berurusan dengannya? Arjuna mencoba mengingat-ingat. Namun tak
mendapatkan hasil.
***
Dentang jam dinding berbunyi sembilan kali. Papa dan mama Arjuna telah
masuk kamar sepuluh menit yang lalu. Arjuna masih sibuk mengerjakan PR
kimia di ruang tengah. Sambil sesekali melihat layar televisi yang
menayangkan film laga. Saat Arjuna sedang asyik melihat adegan
perkelahian, tiba-tiba muncul wajah gadis berkepang dua itu di layar
televisi dengan pandangan yang dingin. Arjuna terkejut. Belum sempat
menguasai keterkejutannya tiba-tiba wajah gadis berseragam SMA itu
berubah menyeramkan. Matanya melotot, melelehkan darah. Rambutnya
awut-awutan. Kemudian tiba-tiba tampak tergantung pada seutas tali.
Arjuna berteriak keras. Membuat kedua orang tuanya terbangun dan bergegas ke tempatnya.
“Ada apa, Jun?” tanya mama Arjuna gusar.
“Ada hantu di televisi, Ma!” Arjuna masih ‘shock’.
“Elah, Jun. Kalau penakut, jangan nonton film horor!” seru mama Arjuna.
“Filmnya bukan film horor, Ma. Film laga. Tapi tiba-tiba muncul hantu itu. Wajahnya mirip teman sekolah, Jun.”
Papa Arjuna tertawa. “Kirain apa, Jun,” katanya. “Terus, mana sekarang? Tuh, yang ada Arnold!”
Arjuna memandang layar televisi. Adegan Arnold Schwarzenegger sedang
bertarung dengan musuhnya. Apakah tadi hanya halusinasinya saja? Arjuna
hanya bisa membatin.
Cowok itu bergegas merapikan buku dan masuk ke kamar. Kemudian
menghempaskan tubuhnya di ranjang. Sebuah pesan dari grup WA gengnya
masuk. Dari Bimo.
[Berhasil bertahan seminggu dengan Ambar, dua jeti Bro!] Bimo menyertakan emotikon tertawa berderet-deret.
Arjuna jadi teringat tantangan yang diberikan gengnya, memacari si culun Ambar dalam seminggu.
[Jagain dua jetinya. Gue pasti menang!] Arjuna mengirim pesan balasan.
[Lu nggak akan tahan.]
[Kita buktikan nanti!]
Tiba-tiba lampu berkedip-kedip, kemudian mati. Arjuna segera menyalakan
HP-nya, mencari gambar senter. Begitu melihat langsung diklik. Senter HP
menyala. Tiba-tiba sosok mengerikan di televisi itu muncul di
hadapannya. Arjuna menjerit. Tapi suaranya mendadak hilang. Sosok itu
meraih tangannya. Pergulatan pun terjadi. Gadis berseragam SMA itu
berusaha mencekik leher Arjuna, tapi tangannya berhasil ditepis cowok
itu. Perkelahian mereka membuat barang-barang di kamar Arjuna
berantakan. Arjuna berharap orang tuanya mendengar keributan itu. Namun
lebih sepuluh menit kengerian itu terjadi, tak ada tanda-tanda orang
tuanya terbangun.
Tiba-tiba, entah bagaimana caranya, Arjuna telah berada di sebuah kebun
karet dan masih dalam cengkeraman makhluk mengerikan itu. Berkali-kali
cowok itu berusaha berteriak. Namun tak ada suara yang keluar dari
tenggorokannya.
Sekuat tenaga Arjuna melawan, namun sia-sia. Tenaganya semakin lama
semakin lemah. Dia menyerah. Mungkin ini takdir hidupnya. 'Tuhan, ampuni
aku,' desisnya dalam hati. Dia pun pingsan.
***
Subuh sudah berlalu satu jam yang lalu, namun mama Arjuna belum melihat
anaknya keluar dari kamar. Wanita itu pun mengetuk kamar Arjuna,
menyuruh cowok itu bangun. Namun tak ada jawaban. Mama Arjuna membuka
kamar. Terlihat kamar yang berantakan seperti kapal pecah. Wanita paruh
baya itu merasa heran, karena biasanya kamar Arjuna selalu rapi. Segera
wanita itu memanggil-manggil nama anaknya sambil mencari di semua
ruangan. Namun tak menemukan yang dicari. Dia pun menuju halaman depan
dan samping, tetapi tak ada Arjuna di sana. Wanita itu menjadi panik.
Berteriak memanggil suaminya dan mengatakan Arjuna hilang.
***
Sudah sehari Arjuna menghilang. Orang tuanya melaporkan kepada polisi.
Belum lama polisi bekerja, didapatkan titik terang. Seorang pekerja
perkebunan menemukan Arjuna dalam keadaan lemah dan kebingungan di kebun
karet. Polisi membawa cowok itu ke kantornya.
Orang tua Arjuna segera menjemput anaknya, kemudian membawa pulang.
“Apa yang terjadi dengan dirimu, Jun?” tanya mama Arjuna dengan linangan
air mata kecemasan sekaligus kebahagiaan karena anaknya telah
ditemukan.
Arjuna pun menceritakan kisahnya dari awal, saat melihat gadis berkepang dua di sudut kelas itu.
Orang tua Arjuna pun memanggil seorang kyai untuk memberikan doa. 'Memagari' anaknya agar tak diganggu hantu itu lagi.
Pada kesempatan itu Pak Narto pun datang menjenguk. Pria itu tampak termenung ketika mendengar kisah yang di alami muridnya.
Pak Narto terkenang peristiwa dua puluh tahun silam, kala lelaki itu baru menjadi guru.
“Apakah wajah gadis Itu seperti ini?” kata Pak Narto sambil menunjukkan
sebuah foto di ponsel. Foto lama yang dia pindai dan simpan di HP.
Diambil kala sekokah mengadakan lomba di hari Kartini.
Arjuna tersentak melihat foto itu. “Ini cewek itu, Pak. Cewek yang saya
lihat di kelas XI MIPA-3,” kata Arjuna. “Dia siapa, Pak?”
Maka berkisahlah Pak Narto tentang gadis itu.
“Dia bernama Martha. Mencintai siswa tampan dan populer di sekolah yang
bernama Anton. Kau tahu, Anton wajahnya mirip denganmu!” Arjuna
tersentak. Kedua orang tuanya pun kaget. “Dia dipermalukan oleh Anton
dan gengnya. Anton memacari dalam seminggu, menjawab tantangan gengnya.
Kemudian di batas waktu tantangan Anton memutuskannya, disaksikan
seluruh anggota geng. Martha dihina dan ditertawakan.” Mata Pak Narto
meredup. “Gadis itu depresi, lalu gantung diri.”
Arjuna menelan ludahnya yang tiba-tiba terasa pahit. Dia sekarang
mengerti, kenapa Martha mendatanginya. Dia tak ingin ada gadis lain yang
bernasib buruk seperti dirinya.
***
Pagi itu Arjuna memasuki kelasnya dengan lesu. Ririe mendekati.
“Kata Tania, bangku di pojok itu kosong. Gak ada gadis di kelasnya yang pakai kacamata,” cerocos Ririe.
“Iya, gue udah tahu,” jawab Arjuna.
“Yeee ... tahu gitu nggak usah capek-capek gue tanya Tania,” gerutu Ririe. “Eh, lu kemarin kenapa gak sekolah?”
“Ada, deh.” Arjuna menjawab sekenanya.
“Denger-denger, lu hilang,” kata Rierie. “Lu hilang beneran apa cuma takut karena gak bikin PR Kimia?”
Sebelum Arjuna menjawab,dua anggota gengnya masuk kelas.
“Gimana, Bro, siap siang ini?” tanya Anggito.
“Nggak. Gue mundur!”
Anggito tertawa keras. “Gak nyangka, lu segampang itu menyerah. Gimana kalau sama Andien?”
“Pale lu peyang!” kata Bimo sambil menoyor kepala Anggito. “Kalau Andien sih semua cowok di sekolah ini juga mau!”
Bel tanda masuk berbunyi. Arjuna mengikuti pelajaran fisika dengan hati
yang tenang. Rasanya keputusan yang dia ambil sudah benar. Tak ada
main-main jika itu mempermainkan manusia yang lain.
Tak terasa sudah masuk jam istirahat. Arjuna berjalan ke arah kantin,
melewati kelas XI MIPA-3. Melihat bangku di sudut, dari jendela kaca.
Gadis berkacamata itu duduk di sana, melihat ke arahnya. Arjuna
terkesiap. Jantungnya berdebar kencang. Gadis itu tersenyum pada Arjuna,
kemudian bayangnya menghilang.
Sebuah tepukan di pundak mengagetkan Arjuna. “Eh, Tania. Salam kek, ini main tepuk aja.” Arjuna bersungut-sungut.”
“Bangku itu kosong, Jun. Gue udah bilang sama Ririe.”
“Iya, gue tahu,” jawab Arjuna. “Ke kantin, yuk!”
“Lu yang traktir, ya?”
“Beres!”
‘Terkadang, pelajaran harus diberikan dengan keras, agar aku mengerti,’
gumam Arjuna dalam hati. Dia melirik sekilas bangku di sudut kelas
Tania. Kosong!
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar