MISTERI RUMAH SANGIT
“ Masuknya diundang, pamitnya dilarang”
Saya hendak menyelamatkan sahabat saya yang akan dikorbankan keluarganya lewat pesugihan kepada iblis, tapi ternyata itu hanya jebakan untuk mengorbankan diri saya sebagai tumbal iblis.
Misteri Rumah Sangit Episode-1: Mencari Sahabat yang Minta Tolong
Ini pengalaman hidup saya pada tahun 2019, yang tidak pernah saya harap akan terjebak mengalaminya begini… Hidup saya saat itu seperti mimpi buruk… Mimpi buruk yang masih menghantui saya sampai hari ini…
Saya berharap sore itu harusnya tetap diam saja di rumah. Saya berharap sore itu terus saja belajar untuk lulus kuliah, di kamar saya yang hangat dan nyaman. Namun, sore itu saya malah pergi ke rumah teman kuliah saya, namanya Wening.
Pada sore itu, lewat aplikasi chatting Wening tiba-tiba mengirim sebuah video ke saya… Satu video mengerikan yang waktu itu membuat saya nekad menempuh perjalanan jauh dari rumah saya ke alamat rumahnya yang saya ketahui berada di daerah Patahan.
Wening: Tolong… Saya akan dikurung di kerangkeng… akan dikorbankan!!
Jangan!! Jangan!! Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning,
Nang, Ning, eu!!”
Jangan!! Jangan!! Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning,
Nang, Ning, eu!!”
Dalam video itu, Wening tampak sangat ketakutan, dan anehnya… dia malah menyanyikan lagu kanak-kanak yang misterius itu keras-keras, sebelum kemudian videonya berhenti.
Saya: Ning, aku ke rumah kamu sekarang!!
Maka, sore itu saya tiba dan berdiri di depan pintu rumahnya. Saya cuma tahu alamat rumahnya yang pernah Wening bilang, tapi belum pernah ke rumahnya sebelum ini… Tadi di tengah jalan setelah masuk daerah Patahan, saya sempat kebingungan… Untung tadi saya berpapasan sama seorang ibu yang bisa menunjukkan jalan ke rumah keluarga Wening. Barusan saya sudah mengetuk pintu rumah ini, tapi tidak ada jawaban…
Saya hendak mengetuk pintu depan ini sekali lagi. Kalau masih tidak ada jawaban, saya mau pulang saja… Tapi, tiba-tiba pintu di hadapan saya itu dibuka dari dalam.
Seorang pria gagah dalam balutan kemeja dan celana berwarna putih menyambut saya. Pakaiannya agak kotor, seperti baru saja melakukan pekerjaan berat. Raut wajahnya sangat mirip dengan Wening, dan saya pernah diceritakan juga kalau Wening memang punya kakak kembar, namanya Wenang. Pria yang sekarang berdiri di hadapan saya ini.
“Cari Wening, ya?” Wenang tersenyum dan bertanya dengan sopan.
“I-iya… Cari Wening… Ada?” Saya menjawabnya dengan gugup.
“Ada,” jawab Wenang. “Silakan masuk…”
Harusnya saya pulang… Harusnya saya pulang saja… Tapi sore itu saya malah melangkah masuk ke rumahnya.
Ruang tamunya dipenuhi aroma wangi bunga sedap malam, yang suka tercium di kampus… yang suka tercium tiap kali saya bersama Wening di kampus… Memang ada sebuah vas penuh batang bunga sedap malam di atas meja di ruang tamu ini, dan di sebelahnya ada sebuah radio tua.
Radio tua ini mengalunkan siaran berita dari posisinya di antara deretan figura foto keluarga, yang berisi wajah Wening, Wenang, dan ibu mereka. “…Dilaporkan banyak keluarga diduga terlibat dalam pesugihan, yang mengorbankan orang-orang terdekat kepada iblis. Sehingga menyebabkan banyaknya laporan orang hilang…”
Tangan Wenang tiba-tiba menurunkan volume siaran radio itu, dan lanjut berkata, “Silakan lewat sini…”
Wenang menunjuk sebuah pintu di ujung ruangan, yang sepertinya menghubungkan untuk masuk ke ruangan lainnya di rumah ini.
“Oh, iya…” Mengangguk demi kesopanan, saya pun mendekat ke pintu itu.
Wenang membukakan pintu itu untuk saya. “Wening ada di kamarnya. Kamu bisa lewat sini, sekalian bertemu teman-temannya dulu…”
Saya tidak mengira kalau ada teman-teman Wening lainnya yang juga sedang ada di rumah ini. Saya pikir, bagus juga kalau lagi ramai…
“Iya, Kak…” Saya lantas melangkah melewati ambang pintu yang dibuka Wenang. Tapi, ruangan itu gelap, “Kak, lampunya masih mati…”
Satu tangan Wenang masih memegangi kenop pintu, sementara satunya lagi bergerak menyalakan lampu. Ruangan ini pun menyala, meski lampunya remang-remang. Ternyata ini sebuah gudang… Gudang yang penuh dengan tumpukan pakaian berdarah!!! Aromanya bau gosong dan amis menyengat!!!
Seketika Wenang menutup pintu di belakang saya, dan menguncinya. Saya gemetar ketakutan, dan spontan menjerit sekuat tenaga. “HEY!! WENANG!! KENAPA DIKUNCI?! TOLOOONNGG…!!! WENANG, KELUARKAN SAYA DARI SINI!!!”
Saya menggedor-gedor pintu di belakang saya. Tapi, Wenang masih menguncinya. Hanya terdengar suara Wenang dari balik pintu. “Silakan menunggu jadi tumbal berikutnya…”
Misteri Rumah Sangit Episode-2: Menembus Gudang Darah Teman
“TOLOOONNGG…!!” Saya menggedor pintu masuk gudang ini. Saya sangat menyesal masuk sini. Terlebih saya marah pada Wenang yang menjebak saya di gudang berdarah ini!
Tempat apa ini?! Kenapa rumah mereka menyimpan pakaian bekas mayat?! Apa maksudnya ini semua teman-teman Wening?! Mereka menjebak saya di sini?! Apa Wening sengaja menjebak supaya saya ke rumahnya ini?! Saya enggak mau mati di sini!!
Di dalam gudang ini sungguh bau sekali… Bau gosong dan bau darah… Penuh tumpukan pakaian seperti bekas mayat… dan ada juga sebuah kursi goyang yang bersimbah darah di antara tumpukan pakaian ini…
Saya takut sekali… Saya tidak mau bernasib begini… Saya tidak mau hanya tinggal pakaian saya yang berdarah di sini… Saya tidak kuat, ingin muntah… Ingin pergi dari sini!! Saya tidak mau mati di sini!!
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Saya menyadari, ada suara seseorang menyanyikan lagu misterius ini di sini.
Dekat celah pintu yang terbuka di seberang sana… Ada seseorang… Ada seseorang yang meringkuk dalam kegelapan gudang ini… Seseorang yang meringkuk, dengan kedua tangan terpasung di pundaknya!!
Pandangan saya pun menangkap adanya sebuah pintu kayu yang tampak sedikit terbuka di seberang saya… Kalau pintu di belakang saya ditutup dan dikunci, mudah-mudahan pintu di seberang itu bisa jadi jalan keluar saya!!
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Sosok manusia yang meringkuk dengan pasung kayu mengunci kedua tangannya di pundak ini betul-betul sedang menyanyikan lagu misterius itu! Kenapa?!
Pelan-pelan saya bergerak menyusuri dinding, menghindari tumpukan pakaian berdarah dan gosong dengan kursi goyang di tengah gudang. Sepanjang dinding ini pun ada banyak pakaian berdarah yang tergantung… Seolah semua pakaian ditinggalkan tubuh manusianya menguap begitu saja.
Banyak juga pakaian yang menempel di atas saya, sudah tidak ada tubuhnya tapi tetap meneteskan darah… Pakaian siapa ini?! Sungguh mengerikan!! Apa yang mereka lakukan di sini?! Pembantaian di rumah Wening?!
“Nang, Ning, Ning, Nang…” Sosok manusia berpasung kayu itu tiba-tiba berhenti membisikkan nyanyian, dan matanya melirik saya…
Saya terkesiap keras, saking kaget jadi seperti memutus napas saya sendiri. “Halo?” Saya coba memanggilnya, sambil terus mendekat.
“NANG, NING, NING, NANG, NING, EU!!!!!!!!” Sosok manusia berpakaian gosong dan berdarah dengan pasung kayu ini tiba-tiba melompat, bangkit, dan mengejar saya.
“AAARRGGHHHH!! TOLOOONNGG!!” Rasa takut mencabik-cabik jiwa saya dengan dahsyat. Saya spontan berlari menghindari manusia terpasung itu, berputar ke arah yang berlawanan.
“TOLOOONNGG!!” Saya terus menjerit sambil menghindar, tapi terjatuh dan mendarat di tumpukan pakaian berdarah yang bau gosong ini.
Panik, saya buru-buru bangkit. Namun, tubuh saya malah terjebak dan jadi seperti berenang di tumpukan pakaian bau gosong dan berdarah ini. Sementara manusia mengerikan yang menyerang saya juga terus berusaha mendekat dan menyerang saya.
Saya mau menyerah!! Saya tidak mau mati gara-gara dia!! Saya tidak mau mati di sini!! Saya harus terus mendekat ke pintu keluar yang terbuka itu…
Saya terus menjerit sekuat tenaga, mengharapkan bantuan, entah dari siapa. Sambil saya terus bergerak keluar dari tumpukan pakaian mengerikan ini, dan menggapai ke arah celah pintu yang terbuka di sana.
Seketika saya menyadari celah pintu itu sudah sangat dekat. Segera saja saya melompat keluar dari tumpukan pakaian dan menggapainya.
“Tolong… Tolong…” Tak disangka, manusia mengerikan berpakaian gosong dalam pasung kayu berdarah yang mengejar saya itu berkata minta tolong.
Saya sudah di ambang celah pintu keluar itu, dan menatapnya. Siapa dia? Apakah… teman Wening? Seperti kata Wenang, ada temanteman Wening di sini… Tapi, kenapa teman Wening begini tersiksa…??
“MATIII!!!” Tiba-tiba manusia berpasung mengerikan ini menggeram keras dan berlari menyerang ke arah saya.
Tanpa pikir-pikir lagi, saya keluar lewat celah pintu yang terbuka ini dan langsung menutup pintunya lagi. Saya spontan mengunci juga pintu ini, agar manusia mengerikan yang terpasung itu tidak bisa mengejar saya, dan terkunci di gudang pakaian berdarah ini selamanya.
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Saya sudah keluar dari Gudang Pakaian Berdarah tadi… Kini saya sadari, di ruangan yang baru ini saya mendengar adanya nyanyian misterius ini lagi…
Hanya saja nyanyian yang ada di ruangan berikutnya ini bukan dari seseorang yang menyanyikannya seperti di gudang tadi… Namun, lagu di sini keluar dari pengeras suara, seperti sengaja diputar keras-keras.
Saya belum tahu guna lagu itu untuk apa… Tapi yang kemudian saya ketahui, dan ternyata yang lebih mengerikan lagi, adalah jalan di hadapan saya sekarang ini diapit oleh sel-sel penjara yang berisi Demit Peliharaan…
Tempat apa ini?! Kenapa rumah mereka menyimpan pakaian bekas mayat?! Apa maksudnya ini semua teman-teman Wening?! Mereka menjebak saya di sini?! Apa Wening sengaja menjebak supaya saya ke rumahnya ini?! Saya enggak mau mati di sini!!
Di dalam gudang ini sungguh bau sekali… Bau gosong dan bau darah… Penuh tumpukan pakaian seperti bekas mayat… dan ada juga sebuah kursi goyang yang bersimbah darah di antara tumpukan pakaian ini…
Saya takut sekali… Saya tidak mau bernasib begini… Saya tidak mau hanya tinggal pakaian saya yang berdarah di sini… Saya tidak kuat, ingin muntah… Ingin pergi dari sini!! Saya tidak mau mati di sini!!
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Saya menyadari, ada suara seseorang menyanyikan lagu misterius ini di sini.
Dekat celah pintu yang terbuka di seberang sana… Ada seseorang… Ada seseorang yang meringkuk dalam kegelapan gudang ini… Seseorang yang meringkuk, dengan kedua tangan terpasung di pundaknya!!
Pandangan saya pun menangkap adanya sebuah pintu kayu yang tampak sedikit terbuka di seberang saya… Kalau pintu di belakang saya ditutup dan dikunci, mudah-mudahan pintu di seberang itu bisa jadi jalan keluar saya!!
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Sosok manusia yang meringkuk dengan pasung kayu mengunci kedua tangannya di pundak ini betul-betul sedang menyanyikan lagu misterius itu! Kenapa?!
Pelan-pelan saya bergerak menyusuri dinding, menghindari tumpukan pakaian berdarah dan gosong dengan kursi goyang di tengah gudang. Sepanjang dinding ini pun ada banyak pakaian berdarah yang tergantung… Seolah semua pakaian ditinggalkan tubuh manusianya menguap begitu saja.
Banyak juga pakaian yang menempel di atas saya, sudah tidak ada tubuhnya tapi tetap meneteskan darah… Pakaian siapa ini?! Sungguh mengerikan!! Apa yang mereka lakukan di sini?! Pembantaian di rumah Wening?!
“Nang, Ning, Ning, Nang…” Sosok manusia berpasung kayu itu tiba-tiba berhenti membisikkan nyanyian, dan matanya melirik saya…
Saya terkesiap keras, saking kaget jadi seperti memutus napas saya sendiri. “Halo?” Saya coba memanggilnya, sambil terus mendekat.
“NANG, NING, NING, NANG, NING, EU!!!!!!!!” Sosok manusia berpakaian gosong dan berdarah dengan pasung kayu ini tiba-tiba melompat, bangkit, dan mengejar saya.
“AAARRGGHHHH!! TOLOOONNGG!!” Rasa takut mencabik-cabik jiwa saya dengan dahsyat. Saya spontan berlari menghindari manusia terpasung itu, berputar ke arah yang berlawanan.
“TOLOOONNGG!!” Saya terus menjerit sambil menghindar, tapi terjatuh dan mendarat di tumpukan pakaian berdarah yang bau gosong ini.
Panik, saya buru-buru bangkit. Namun, tubuh saya malah terjebak dan jadi seperti berenang di tumpukan pakaian bau gosong dan berdarah ini. Sementara manusia mengerikan yang menyerang saya juga terus berusaha mendekat dan menyerang saya.
Saya mau menyerah!! Saya tidak mau mati gara-gara dia!! Saya tidak mau mati di sini!! Saya harus terus mendekat ke pintu keluar yang terbuka itu…
Saya terus menjerit sekuat tenaga, mengharapkan bantuan, entah dari siapa. Sambil saya terus bergerak keluar dari tumpukan pakaian mengerikan ini, dan menggapai ke arah celah pintu yang terbuka di sana.
Seketika saya menyadari celah pintu itu sudah sangat dekat. Segera saja saya melompat keluar dari tumpukan pakaian dan menggapainya.
“Tolong… Tolong…” Tak disangka, manusia mengerikan berpakaian gosong dalam pasung kayu berdarah yang mengejar saya itu berkata minta tolong.
Saya sudah di ambang celah pintu keluar itu, dan menatapnya. Siapa dia? Apakah… teman Wening? Seperti kata Wenang, ada temanteman Wening di sini… Tapi, kenapa teman Wening begini tersiksa…??
“MATIII!!!” Tiba-tiba manusia berpasung mengerikan ini menggeram keras dan berlari menyerang ke arah saya.
Tanpa pikir-pikir lagi, saya keluar lewat celah pintu yang terbuka ini dan langsung menutup pintunya lagi. Saya spontan mengunci juga pintu ini, agar manusia mengerikan yang terpasung itu tidak bisa mengejar saya, dan terkunci di gudang pakaian berdarah ini selamanya.
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Saya sudah keluar dari Gudang Pakaian Berdarah tadi… Kini saya sadari, di ruangan yang baru ini saya mendengar adanya nyanyian misterius ini lagi…
Hanya saja nyanyian yang ada di ruangan berikutnya ini bukan dari seseorang yang menyanyikannya seperti di gudang tadi… Namun, lagu di sini keluar dari pengeras suara, seperti sengaja diputar keras-keras.
Saya belum tahu guna lagu itu untuk apa… Tapi yang kemudian saya ketahui, dan ternyata yang lebih mengerikan lagi, adalah jalan di hadapan saya sekarang ini diapit oleh sel-sel penjara yang berisi Demit Peliharaan…
Misteri Rumah Sangit Episode-3: Menyusuri Penjara Demit Peliharaan
Wening suka menceritakan kisah-kisah horor. Pernah suatu hari di kampus ia bercerita bahwa di daerah Patahan, tempat rumah orang tuanya berada, banyak yang memelihara demit. Katanya untuk membantu manusia yang ingin cepat mendapatkan obsesinya melalui ritual pesugihan kepada iblis.
Akhirnya saya teringat dan menyadari, ternyata cerita Wening tentang pesugihan di daerah rumah orang tuanya itu nyata terjadi di keluarganya. Di depan saya sekarang ada lorong yang diapit oleh dua barisan penjara, isinya makhluk-makhluk bertampang mengerikan dengan tubuh dan taring yang seperti terbuat dari api membara. Anehnya, Demit-demit Peliharaan ini tampak tenang dalam sel penjara mereka masing-masing, sama sekali tidak terganggu oleh saya yang barusan masuk ke lorong di tengah penjara mereka. Anehnya juga saya merasa aman, asal mereka tidak menyerang…
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang…” Suara nyanyian misteris yang terdengar mengalun dari pengeras suara dalam area penjara ini tiba-tiba berhenti.
Saat itu juga, saya menyaksikan Demit-demit Peliharaan mengaum dan melolong keras. Saya spontan menjerit, dan melangkah mundur… Menyebabkan kaki saya menginjak lantai kayu yang berderit keras. Karenanya Demit-demit Peliharaan ini sekarang menoleh kepada saya.
Panik, saya balik badan dan berusaha membuka pintu kayu asal saya masuk barusan… Tapi, pintu itu juga telah terkunci. Satu-satunya cara saya untuk pergi adalah harus terus lari… melalui deretan penjara Demit Peliharaan ini…
Saya lambat laun menyadari, apakah lagu misterius tadi membuat makhlukmakhluk gaib ini diam dan tenang?? Jadi, saya harus menyanyikannya?!
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu~” Tidak ada salahnya mencoba, maka saya pun pelan-pelan menyanyikannya, mengikuti nada yang saya dengar.
Guncangan tubuh Demit-demit Peliharaan tampak berkurang, seakan tidak lagi berusaha kabur dari penjara gaib mereka. Saya yakini, saya harus terus menyanyi sambil berjalan ke ujung ruangan ini.
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu~ Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu~” Suara nyanyian saya semakin keras, dan langkah saya semakin cepat. Suara lantai kayu yang berderit terdengar semakin keras seiring lari saya.
Namun nyatanya, Demit-demit Peliharaan dalam penjara memang jadi tidak lagi memperhatikan saya. Nyanyian ini seperti mantra magis yang fungsinya untuk menenangkan iblis…
Di tengah jalan, saya betul-betul merasa lelah bernyanyi dan berlari… Nyanyian saya terhenti… dan seketika Demit-demit Peliharaan mengaum, melolong, juga semua menatap kepada saya sambil mengguncangguncangkan sel penjara mereka.
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu! Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu!” Saya buru-buru menyanyi lagi, dan berlari menggunakan sisa-sisa tenaga.
Saya terus berlari… terus bernyanyi… Deretan penjara bebatuan penuh Demit Peliharaan ini seolah tidak ada ujungnya. Saya nyaris menyerah…
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Suara saya semakin pelan… Namun, kemudian saya melihat ada pintu kayu di ujung ruangan.
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Tiba-tiba suara nyanyian misterius dari pengeras suara pun keluar lagi. Jadi, saya tidak perlu lagi menyanyi sendiri… Lagu misterius itu sudah membuat Demit-demit Peliharaan tenang kembali.
Saya pun bisa leluasa segera membuka pintu kayu itu, dan melompat memasuki ruangan yang baru. Menyandar di pintu kayu yang telah saya kunci kembali ini, napas saya terputus-putus, dada saya terasa sesak… Saya menjerit sekuat tenaga, dan menangis melepaskan ketakutan. “AAAAAAAAAAAAAGGGRRRHHH!!”
“Sudah bertemu dengan Wenang?” Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan tua dari tengah ruangan gelap ini.
Saya tersentak, kaget. Tapi kini lampu ruangan ini menyala, dan saya lebih takut lagi, karena apa yang saya lihat di sini…
Saya berada di sebuah dapur dan ruang makan berwarna-warni. Nuansanya sangat kontras dengan ruangan-ruangan gelap dan mengerikan sebelumnya, yang penuh pakaian mayat juga Demit Peliharaan. Di sini banyak makanan hangat dan minuman segar di atas meja makannya, dan pada kursi makan di balik meja itu duduk seorang perempuan tua… Ibunya Wening dan Wenang
Akhirnya saya teringat dan menyadari, ternyata cerita Wening tentang pesugihan di daerah rumah orang tuanya itu nyata terjadi di keluarganya. Di depan saya sekarang ada lorong yang diapit oleh dua barisan penjara, isinya makhluk-makhluk bertampang mengerikan dengan tubuh dan taring yang seperti terbuat dari api membara. Anehnya, Demit-demit Peliharaan ini tampak tenang dalam sel penjara mereka masing-masing, sama sekali tidak terganggu oleh saya yang barusan masuk ke lorong di tengah penjara mereka. Anehnya juga saya merasa aman, asal mereka tidak menyerang…
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang…” Suara nyanyian misteris yang terdengar mengalun dari pengeras suara dalam area penjara ini tiba-tiba berhenti.
Saat itu juga, saya menyaksikan Demit-demit Peliharaan mengaum dan melolong keras. Saya spontan menjerit, dan melangkah mundur… Menyebabkan kaki saya menginjak lantai kayu yang berderit keras. Karenanya Demit-demit Peliharaan ini sekarang menoleh kepada saya.
Panik, saya balik badan dan berusaha membuka pintu kayu asal saya masuk barusan… Tapi, pintu itu juga telah terkunci. Satu-satunya cara saya untuk pergi adalah harus terus lari… melalui deretan penjara Demit Peliharaan ini…
Saya lambat laun menyadari, apakah lagu misterius tadi membuat makhlukmakhluk gaib ini diam dan tenang?? Jadi, saya harus menyanyikannya?!
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu~” Tidak ada salahnya mencoba, maka saya pun pelan-pelan menyanyikannya, mengikuti nada yang saya dengar.
Guncangan tubuh Demit-demit Peliharaan tampak berkurang, seakan tidak lagi berusaha kabur dari penjara gaib mereka. Saya yakini, saya harus terus menyanyi sambil berjalan ke ujung ruangan ini.
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu~ Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu~” Suara nyanyian saya semakin keras, dan langkah saya semakin cepat. Suara lantai kayu yang berderit terdengar semakin keras seiring lari saya.
Namun nyatanya, Demit-demit Peliharaan dalam penjara memang jadi tidak lagi memperhatikan saya. Nyanyian ini seperti mantra magis yang fungsinya untuk menenangkan iblis…
Di tengah jalan, saya betul-betul merasa lelah bernyanyi dan berlari… Nyanyian saya terhenti… dan seketika Demit-demit Peliharaan mengaum, melolong, juga semua menatap kepada saya sambil mengguncangguncangkan sel penjara mereka.
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu! Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu!” Saya buru-buru menyanyi lagi, dan berlari menggunakan sisa-sisa tenaga.
Saya terus berlari… terus bernyanyi… Deretan penjara bebatuan penuh Demit Peliharaan ini seolah tidak ada ujungnya. Saya nyaris menyerah…
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Suara saya semakin pelan… Namun, kemudian saya melihat ada pintu kayu di ujung ruangan.
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Tiba-tiba suara nyanyian misterius dari pengeras suara pun keluar lagi. Jadi, saya tidak perlu lagi menyanyi sendiri… Lagu misterius itu sudah membuat Demit-demit Peliharaan tenang kembali.
Saya pun bisa leluasa segera membuka pintu kayu itu, dan melompat memasuki ruangan yang baru. Menyandar di pintu kayu yang telah saya kunci kembali ini, napas saya terputus-putus, dada saya terasa sesak… Saya menjerit sekuat tenaga, dan menangis melepaskan ketakutan. “AAAAAAAAAAAAAGGGRRRHHH!!”
“Sudah bertemu dengan Wenang?” Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan tua dari tengah ruangan gelap ini.
Saya tersentak, kaget. Tapi kini lampu ruangan ini menyala, dan saya lebih takut lagi, karena apa yang saya lihat di sini…
Saya berada di sebuah dapur dan ruang makan berwarna-warni. Nuansanya sangat kontras dengan ruangan-ruangan gelap dan mengerikan sebelumnya, yang penuh pakaian mayat juga Demit Peliharaan. Di sini banyak makanan hangat dan minuman segar di atas meja makannya, dan pada kursi makan di balik meja itu duduk seorang perempuan tua… Ibunya Wening dan Wenang
Misteri Rumah Sangit Episode-4: Menemui Keluarga Sahabat Pesugihan
Saya bergeming di pintu, dan merasa nyaris pipis di celana. Ruangan ini tampak manis dan hangat, tapi saya takut sekali. Pengalaman buruk saya dengan kematian dan iblis di rumah ini membuat saya tidak bisa berpikir baik tentang ibu ini. Terlebih, ibu ini adalah perempuan tua yang tadi saya temui di tengah jalan ke sini… Ibu yang berpapasan dengan saya dan menunjukkan rumah keluarga Wening ini…
“Ayo, ke sini, ‘Nak…” Ibu Wening memanggil saya untuk duduk bersamanya mengelilingi meja makan itu. Saya diam saja. Saya bahkan tidak sudi mendekat ke meja makan
tempatnya berada…
“Kamu ke sini cari Wening, ya?” tanya ibunya lagi. Saya gemetar hebat, bukan main takutnya.
Ibu Wening tampak tersenyum dan berpenampilan rapi, dengan sikap menyambut hangat, tapi saya tidak yakin ibu ini manusia atau bukan… Kalaupun ibu ini manusia… manusia macam apa yang mengurung iblis, demit, dan membantai manusia di rumahnya?!?!
“Wening biasanya enggak ada di rumah yang ini, karena ini Rumah Sangit, rumah ritual. Tapi, sekarang dia sedang ada di sini. Saya panggilkan Wening, ya…” kata Ibu Wening, suaranya halus tapi membuat tubuh saya sungguh lemas saking ketakutan.
Tiba-tiba ruangan ini tidak lagi berwarna-warni, melainkan berubah menjadi hitam, seperti gosong… Hawanya sangat panas dan bau gosong, dengan tulisan yang bermunculan pada dinding… Banyak angka “1.999” dan dibalik menjadi “666.1” berwarna merah terang muncul pada dinding, seperti ditulis oleh api membara…
Seketika terdengar suara sudut dinding yang didobrak keras!!! Wenang muncul, tetapi wajahnya… wajahnya berubah!! Wajah Wenang kini menyerupai monster… atau iblis?! Wajahnya berubah menjadi sangat mengerikan, dan menyeringai lebar. Wenang masih dalam balutan pakaian putihnya yang kotor, tapi sisi kanan bajunya sekarang dilumuri darah segar!!!
Darah siapa itu?! Darah Wening??!!
Wenang menjilat darah yang menetes-netes dari tangannya, lalu mengelapkan sisa darah di tangannya itu ke bagian dada kanan bajunya. Saya kemudian menyadari, satu tangan Wenang menggenggam tali yang menggantungkan sebuah pasung kayu… dengan ada satu potongan tangan manusia yang masih terpasung!! Apa jangan-jangan… potongan tangan itu…
dan darah itu… adalah dari teman Wening yang disekap di gudang tadi?!!
Di sudut ruang makan ini yang barusan dindingnya ia dobrak, Wenang lantas duduk bersila, dengan satu tangan memegang segenggam penuh batang bunga sedap malam dan tangan lainnya masih memegangi tali pasung kayu.
“Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan… Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan…” Wenang seperti merapal sebuah mantra dengan suara menggeram keras dan mengerikan, sambil menggerakkan segenggam batang bunga sedap malam itu ke arah saya… Dia tampak sedang mengarahkan mantra ritual pada saya!!
“Tolong…! Lari… Lari… Lari…! Di tengah kengerian ini, seketika sayup-sayup saya mendengar suara Wening.
Ada sebuah pintu panjang menyerupai lorong yang menyala di sudut lain ruangan ini. Dari situ datangnya suara Wening, “Tolong! Saya di sebelah! Lari! Lari ke sini!”
“WENING?! KAMU DI MANA?!” Saya berteriak, sambil curi-curi pandang ke
arah Wenang yang terus komat-kamit menjalankan ritual di sudut ruangan.
“Di ruangan sebelah! Lari! Lari ke sini!” Suara Wening terdengar berasal dari lorong di samping kanan saya, terus bersahut-sahutan dengan suara teriakan Wenang yang melakukan ritual iblis kepada saya.
“Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan… Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan…” Kepala saya terasa sangat pusing dan berputar-putar. Saya sangat mual, saya mau muntah…
“Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan… Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan…” Wenang masih terus menyerukan mantra ritualnya sambil mengibaskan batang-batang bunga sedap malam ke arah saya, mencipratkan darah…
“LARI!!! MASUK LORONG!!! LARIII!!!” Wening terdengar menjerit penuh rasa putus asa. Namun, suaranya itu seolah memberi kekuatan bagi saya.
Saya secepatnya berlari menuju lorong yang menyala di sana. Wenang ternyata tidak tinggal diam. Melihat saya berusaha melarikan diri, pria itu langsung bangkit dan beranjak dari sudut ritualnya… Wenang menggenggam batang bunga sedap malam dan menyeret pasung kayu berdarah…, mengejar saya.
Dengan sisa-sisa tenaga, saya terus berlari hingga mencapai ujung lorong. Memang ternyata ada ruangan, ada sebuah kerangkeng, dan ada Wening.
“CEPAT ANGKAT BALOKNYAAA!!!” Wening menyambut kemunculan saya dengan suara teriakan yang melolong dan mata yang memelototi saya
“Ayo, ke sini, ‘Nak…” Ibu Wening memanggil saya untuk duduk bersamanya mengelilingi meja makan itu. Saya diam saja. Saya bahkan tidak sudi mendekat ke meja makan
tempatnya berada…
“Kamu ke sini cari Wening, ya?” tanya ibunya lagi. Saya gemetar hebat, bukan main takutnya.
Ibu Wening tampak tersenyum dan berpenampilan rapi, dengan sikap menyambut hangat, tapi saya tidak yakin ibu ini manusia atau bukan… Kalaupun ibu ini manusia… manusia macam apa yang mengurung iblis, demit, dan membantai manusia di rumahnya?!?!
“Wening biasanya enggak ada di rumah yang ini, karena ini Rumah Sangit, rumah ritual. Tapi, sekarang dia sedang ada di sini. Saya panggilkan Wening, ya…” kata Ibu Wening, suaranya halus tapi membuat tubuh saya sungguh lemas saking ketakutan.
Tiba-tiba ruangan ini tidak lagi berwarna-warni, melainkan berubah menjadi hitam, seperti gosong… Hawanya sangat panas dan bau gosong, dengan tulisan yang bermunculan pada dinding… Banyak angka “1.999” dan dibalik menjadi “666.1” berwarna merah terang muncul pada dinding, seperti ditulis oleh api membara…
Seketika terdengar suara sudut dinding yang didobrak keras!!! Wenang muncul, tetapi wajahnya… wajahnya berubah!! Wajah Wenang kini menyerupai monster… atau iblis?! Wajahnya berubah menjadi sangat mengerikan, dan menyeringai lebar. Wenang masih dalam balutan pakaian putihnya yang kotor, tapi sisi kanan bajunya sekarang dilumuri darah segar!!!
Darah siapa itu?! Darah Wening??!!
Wenang menjilat darah yang menetes-netes dari tangannya, lalu mengelapkan sisa darah di tangannya itu ke bagian dada kanan bajunya. Saya kemudian menyadari, satu tangan Wenang menggenggam tali yang menggantungkan sebuah pasung kayu… dengan ada satu potongan tangan manusia yang masih terpasung!! Apa jangan-jangan… potongan tangan itu…
dan darah itu… adalah dari teman Wening yang disekap di gudang tadi?!!
Di sudut ruang makan ini yang barusan dindingnya ia dobrak, Wenang lantas duduk bersila, dengan satu tangan memegang segenggam penuh batang bunga sedap malam dan tangan lainnya masih memegangi tali pasung kayu.
“Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan… Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan…” Wenang seperti merapal sebuah mantra dengan suara menggeram keras dan mengerikan, sambil menggerakkan segenggam batang bunga sedap malam itu ke arah saya… Dia tampak sedang mengarahkan mantra ritual pada saya!!
“Tolong…! Lari… Lari… Lari…! Di tengah kengerian ini, seketika sayup-sayup saya mendengar suara Wening.
Ada sebuah pintu panjang menyerupai lorong yang menyala di sudut lain ruangan ini. Dari situ datangnya suara Wening, “Tolong! Saya di sebelah! Lari! Lari ke sini!”
“WENING?! KAMU DI MANA?!” Saya berteriak, sambil curi-curi pandang ke
arah Wenang yang terus komat-kamit menjalankan ritual di sudut ruangan.
“Di ruangan sebelah! Lari! Lari ke sini!” Suara Wening terdengar berasal dari lorong di samping kanan saya, terus bersahut-sahutan dengan suara teriakan Wenang yang melakukan ritual iblis kepada saya.
“Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan… Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan…” Kepala saya terasa sangat pusing dan berputar-putar. Saya sangat mual, saya mau muntah…
“Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan… Ue… ngin, ngan, ngin, ngin, ngan…” Wenang masih terus menyerukan mantra ritualnya sambil mengibaskan batang-batang bunga sedap malam ke arah saya, mencipratkan darah…
“LARI!!! MASUK LORONG!!! LARIII!!!” Wening terdengar menjerit penuh rasa putus asa. Namun, suaranya itu seolah memberi kekuatan bagi saya.
Saya secepatnya berlari menuju lorong yang menyala di sana. Wenang ternyata tidak tinggal diam. Melihat saya berusaha melarikan diri, pria itu langsung bangkit dan beranjak dari sudut ritualnya… Wenang menggenggam batang bunga sedap malam dan menyeret pasung kayu berdarah…, mengejar saya.
Dengan sisa-sisa tenaga, saya terus berlari hingga mencapai ujung lorong. Memang ternyata ada ruangan, ada sebuah kerangkeng, dan ada Wening.
“CEPAT ANGKAT BALOKNYAAA!!!” Wening menyambut kemunculan saya dengan suara teriakan yang melolong dan mata yang memelototi saya
Misteri Rumah Sangit Episode-5: Meninggalkan Sahabat di Rumah Pesugihan
“CEPAT ANGKAT BALOKNYAAA!!!” Dari dalam kerangkeng yang puncaknya terbungkus kain merah, Wening berteriak dengan mata memelotot sambil mengguncang-guncangkan jerujinya.
Jeruji itu dikunci menggunakan tiga balok kayu panjang dari luarnya. Wening tidak bisa membukanya sendiri dari posisinya dalam kerangkeng.
“Kenapa… saya harus buka kerangkeng kamu?! Nanti kamu juga nyerang saya! Ngorbanin saya ke iblis kayak keluarga kamu! Nanti kalian bunuh saya juga kayak temen-temen kamu sebelumnya!” Seketika saya merasa curiga.
“Maaf! Saya minta maaf! Saya enggak tau! Saya enggak pernah setuju keluarga saya jadi penyembah iblis, melihara demit! Saya enggak pernah setuju keluarga saya pesugihan! Saya enggak tau kalau selama ini Wenang sering kerasukan iblis untuk pesugihan! Saya juga enggak tau kalau selama ini yang dikorbankan keluarga saya adalah teman-teman saya!” Wening menjelaskan dengan suara gemetar dan air matanya bercucuran.
“Saya enggak percaya lagi sama kamu! Kamu ngejebak saya!” Saya di luar kerangkeng merah ini, berhadapan dengan Wening sambil gemetaran.
“MAAF! Saya sungguh minta maaf! Bantu saya keluar! Saya akan keluarkan kamu dari rumah ini, kalau kamu buka kerangkeng saya!” ujar Wening.
“BOHONG!” Saya menjerit ke wajahnya.
Terdengar raungan suara Wenang yang mengejar saya melalui lorong di belakang, menyeret pasung kayu dengan potongan tangan manusia, dan menggenggam batang bunga sedap malam. Wening pun terlihat semakin panik.
“Cepat angkat balok kerangkeng saya!!! CUMA SAYA YANG BISA SELAMATKAN KAMU DARI WENANG DAN IBU!!!” jerit Wening.
Wenang mengejar saya, akan menjadikan saya tumbal berikutnya. Saya tidak mau berurusan lagi dengannya. Saya hanya mau keluar dari rumah keluarga penyembah iblis ini hidup-hidup!
Buru-buru saya mengangkat balok panjang pertama yang mengunci kerangkeng Wening. Balok itu berat sekaliii!! Tapi, saya tidak mau menyerah pada Wenang yang mau menjadikan saya tumbal pesugihan kepada iblis!!
“Cepaaatt! Saya enggak mau kamu dibunuh kakak saya untuk tumbal pesugihan!!!” Meski panik, Wening menyemangati saya. “Saya mau kamu hidup! SAYA MAU KAMU KELUAR DARI RUMAH SAYA HIDUP-HIDUP!!!”
Kekuatan saya muncul dari ketakutan, sekaligus kesadaran bahwa Wening sepertinya betul ingin saya bisa kabur dari rumah keluarganya yang memuja iblis ini. Saya pun berhasil melepas tiga balok panjang dari kerangkengnya. Sampai akhirnya Wening bisa bebas keluar jeruji yang tidak lagi terkunci.
Wening melompat keluar dari kerangkeng, dan tangannya langsung menyelipkan sebuah amplop putih kotor dan kunci ke tangan saya. “Ambil ini, dan cepat keluar dari pintu itu! Saya akan menahan Wenang supaya enggak menyerang kamu!” Wening menunjuk ke arah pintu kayu di ujung ruangan ini.
Saya melihat sebuah amplop dan kunci yang ditaruh Wening di tangan saya.Saya tahu kunci ini untuk membuka pintu keluar, tapi surat ini… “Surat apa ini?” tanya saya, kepada Wening yang berdiri berhadapan dengan saya.
“Pesan terakhir saya…,” kata Wening. “Kalau nanti saya mati di tangan kakak atau ibu saya… Kamu tetap lakukan apa yang saya tulis di surat itu…”
Wenang muncul di pintu lorong dari ruang makan tadi sambil meraung dan mengacungkan pecut batang bunga sedap malamnya. Tampak siap menerkam saya.
“CEPAT PERGI DARI RUMAH KAMI!! SAYA ENGGAK MAU KAMU MATI!! KAMU SATU-SATUNYA SAHABAT SAYA!!” Wening menangis dan berteriak dengan nada memohon kepada saya, seraya mendorong saya ke pintu.Ning…” Saya menatapnya dengan heran sekaligus sedih. Kenapa dia begini mengorbankan dirinya sendiri demi saya bisa selamat dari rumahnya…
“Ning, kalau kamu bener-bener enggak mau ikut keluarga kamu melakukan pesugihan di sini, kamu bisa ikut saya pergi…” Saya ingin mengajaknya. Dalam relung hati terdalam, saya juga ingin Wening bisa selamat dari sini… bisa selamat dari cengkeraman keluarganya yang melakukan pesugihan.
“Saya harus menahan Wenang supaya dia enggak terus ngejar kamu,” Wening berkata sambil tersenyum, tapi matanya meneteskan air mata. Kemudian, hanya suara nyanyian yang keluar dari mulutnya.
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Wening menyanyikan lagu misterius ini, sambil balik badan, dan kini ia berhadapan dengan Wenang yang telah sampai memasuki ruangan ini.
Ini satu-satunya kesempatan saya kabur dari rumah keluarga penyembah iblis yang menjebak saya. Saya segera berlari menghampiri pintu kayu yang barusan ditunjuk Wening. Saya membukanya pakai kunci dari Wening, dan ternyata terhubung langsung ke halaman depan rumah, tempat parkir mobil.
Sebelum keluar, saya sekali menoleh lagi kepada Wening. Perempuan itu terus menyanyikan lagu misterius itu di hadapan Wenang. Seolah-olah lagu itulah caranya untuk menenangkan jiwa iblis dalam diri kakak kembarnya.
“Selamatkan dirimu sendiri juga, Ning!” Terakhir, saya berteriak kepadanya, kemudian cepat-cepat berlari keluar dari rumah ini dan masuk mobil saya.
Pintu rumah tetap terbuka, sehingga saya masih bisa melihat apa yang terjadi di ruangan kerangkeng sana… Wenang dan sang ibu betul-betul telah keluar dari lorong dan kini mereka berada di ruangan yang sama dengan Wening. Mereka tampak memelototi Wening dengan penuh amarah.
“INI SALAH KAMU!!!” Wenang berteriak kasar kepada Wening, kemudian memukul adik kembarnya itu pakai batang bunga sedap malam berdarah.
Wenang menjambak rambut panjang Wening, dan menyeretnya masuk kembali ke lorong menuju ruang ritual. Saya sangat kaget menyaksikannya.
Namun, Ibu Wening mendadak menoleh ke arah pintu yang terbuka… ke
arah saya… Saya tidak mau diseret kembali masuk Rumah Sangit ini!
Saya buru-buru mengendarai mobil, pergi jauh-jauh dari Rumah Sangit ini.
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…”
Jeruji itu dikunci menggunakan tiga balok kayu panjang dari luarnya. Wening tidak bisa membukanya sendiri dari posisinya dalam kerangkeng.
“Kenapa… saya harus buka kerangkeng kamu?! Nanti kamu juga nyerang saya! Ngorbanin saya ke iblis kayak keluarga kamu! Nanti kalian bunuh saya juga kayak temen-temen kamu sebelumnya!” Seketika saya merasa curiga.
“Maaf! Saya minta maaf! Saya enggak tau! Saya enggak pernah setuju keluarga saya jadi penyembah iblis, melihara demit! Saya enggak pernah setuju keluarga saya pesugihan! Saya enggak tau kalau selama ini Wenang sering kerasukan iblis untuk pesugihan! Saya juga enggak tau kalau selama ini yang dikorbankan keluarga saya adalah teman-teman saya!” Wening menjelaskan dengan suara gemetar dan air matanya bercucuran.
“Saya enggak percaya lagi sama kamu! Kamu ngejebak saya!” Saya di luar kerangkeng merah ini, berhadapan dengan Wening sambil gemetaran.
“MAAF! Saya sungguh minta maaf! Bantu saya keluar! Saya akan keluarkan kamu dari rumah ini, kalau kamu buka kerangkeng saya!” ujar Wening.
“BOHONG!” Saya menjerit ke wajahnya.
Terdengar raungan suara Wenang yang mengejar saya melalui lorong di belakang, menyeret pasung kayu dengan potongan tangan manusia, dan menggenggam batang bunga sedap malam. Wening pun terlihat semakin panik.
“Cepat angkat balok kerangkeng saya!!! CUMA SAYA YANG BISA SELAMATKAN KAMU DARI WENANG DAN IBU!!!” jerit Wening.
Wenang mengejar saya, akan menjadikan saya tumbal berikutnya. Saya tidak mau berurusan lagi dengannya. Saya hanya mau keluar dari rumah keluarga penyembah iblis ini hidup-hidup!
Buru-buru saya mengangkat balok panjang pertama yang mengunci kerangkeng Wening. Balok itu berat sekaliii!! Tapi, saya tidak mau menyerah pada Wenang yang mau menjadikan saya tumbal pesugihan kepada iblis!!
“Cepaaatt! Saya enggak mau kamu dibunuh kakak saya untuk tumbal pesugihan!!!” Meski panik, Wening menyemangati saya. “Saya mau kamu hidup! SAYA MAU KAMU KELUAR DARI RUMAH SAYA HIDUP-HIDUP!!!”
Kekuatan saya muncul dari ketakutan, sekaligus kesadaran bahwa Wening sepertinya betul ingin saya bisa kabur dari rumah keluarganya yang memuja iblis ini. Saya pun berhasil melepas tiga balok panjang dari kerangkengnya. Sampai akhirnya Wening bisa bebas keluar jeruji yang tidak lagi terkunci.
Wening melompat keluar dari kerangkeng, dan tangannya langsung menyelipkan sebuah amplop putih kotor dan kunci ke tangan saya. “Ambil ini, dan cepat keluar dari pintu itu! Saya akan menahan Wenang supaya enggak menyerang kamu!” Wening menunjuk ke arah pintu kayu di ujung ruangan ini.
Saya melihat sebuah amplop dan kunci yang ditaruh Wening di tangan saya.Saya tahu kunci ini untuk membuka pintu keluar, tapi surat ini… “Surat apa ini?” tanya saya, kepada Wening yang berdiri berhadapan dengan saya.
“Pesan terakhir saya…,” kata Wening. “Kalau nanti saya mati di tangan kakak atau ibu saya… Kamu tetap lakukan apa yang saya tulis di surat itu…”
Wenang muncul di pintu lorong dari ruang makan tadi sambil meraung dan mengacungkan pecut batang bunga sedap malamnya. Tampak siap menerkam saya.
“CEPAT PERGI DARI RUMAH KAMI!! SAYA ENGGAK MAU KAMU MATI!! KAMU SATU-SATUNYA SAHABAT SAYA!!” Wening menangis dan berteriak dengan nada memohon kepada saya, seraya mendorong saya ke pintu.Ning…” Saya menatapnya dengan heran sekaligus sedih. Kenapa dia begini mengorbankan dirinya sendiri demi saya bisa selamat dari rumahnya…
“Ning, kalau kamu bener-bener enggak mau ikut keluarga kamu melakukan pesugihan di sini, kamu bisa ikut saya pergi…” Saya ingin mengajaknya. Dalam relung hati terdalam, saya juga ingin Wening bisa selamat dari sini… bisa selamat dari cengkeraman keluarganya yang melakukan pesugihan.
“Saya harus menahan Wenang supaya dia enggak terus ngejar kamu,” Wening berkata sambil tersenyum, tapi matanya meneteskan air mata. Kemudian, hanya suara nyanyian yang keluar dari mulutnya.
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…” Wening menyanyikan lagu misterius ini, sambil balik badan, dan kini ia berhadapan dengan Wenang yang telah sampai memasuki ruangan ini.
Ini satu-satunya kesempatan saya kabur dari rumah keluarga penyembah iblis yang menjebak saya. Saya segera berlari menghampiri pintu kayu yang barusan ditunjuk Wening. Saya membukanya pakai kunci dari Wening, dan ternyata terhubung langsung ke halaman depan rumah, tempat parkir mobil.
Sebelum keluar, saya sekali menoleh lagi kepada Wening. Perempuan itu terus menyanyikan lagu misterius itu di hadapan Wenang. Seolah-olah lagu itulah caranya untuk menenangkan jiwa iblis dalam diri kakak kembarnya.
“Selamatkan dirimu sendiri juga, Ning!” Terakhir, saya berteriak kepadanya, kemudian cepat-cepat berlari keluar dari rumah ini dan masuk mobil saya.
Pintu rumah tetap terbuka, sehingga saya masih bisa melihat apa yang terjadi di ruangan kerangkeng sana… Wenang dan sang ibu betul-betul telah keluar dari lorong dan kini mereka berada di ruangan yang sama dengan Wening. Mereka tampak memelototi Wening dengan penuh amarah.
“INI SALAH KAMU!!!” Wenang berteriak kasar kepada Wening, kemudian memukul adik kembarnya itu pakai batang bunga sedap malam berdarah.
Wenang menjambak rambut panjang Wening, dan menyeretnya masuk kembali ke lorong menuju ruang ritual. Saya sangat kaget menyaksikannya.
Namun, Ibu Wening mendadak menoleh ke arah pintu yang terbuka… ke
arah saya… Saya tidak mau diseret kembali masuk Rumah Sangit ini!
Saya buru-buru mengendarai mobil, pergi jauh-jauh dari Rumah Sangit ini.
“Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu… Nang, Ning, Ning, Nang, Ning, eu…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar