Sabtu, 03 Juni 2023

Gigolo Itu Ayahku

 Gigolo Itu Ayahku


"Anakkuuu ..." Seorang pria memanggil manggil aku dengan sebutan anak, lalu berusaha untuk memberikan kasih sayang nya secara terbuka. Bahkan media massa pun di kerahkan untuk mendapatkan pamor, demi kemuliaan nama agungnya, yang sudah di lecehkan seorang wanita karena diduga pria tersebut tidak bisa memberikan seorang anak. Dari hasil perkimpoian yang sudah berusia dua puluh tahun.

Semua tentang kisahku, sejak pria itu datang kembali ke dalam kehidupan kami, setelah menelantarkan selama tiga belas tahun sudah. Dan anak yang terlahir dari hubungan haram tersebut ialah aku, buah cinta sesaat yang terlarang, karena hasil perselingkuhan nya dengan mama, melalui kebohongan yang di bentuk dengan sempurna.

Dan akhirnya terbentuk aku, yang bukan lagi berupa kumpulan air surga milik sepasang kekasih, pada harga eceran gratisan yang dahulu kala terjalin, di awali dengan bubuk putih laknat, hingga akhirnya kebejatan moral menjadi candu, sampai pada akhirnya terlahir sosok ratu bucin, hanya karena cinta sesaat membuat nya menjadi lebih panjang dengan drama pada tiap kisah-kisahnya.

Masih teringat kisah nyata yang sering di ceritakan oleh eyang putri dan seluruh kejadian, yang mana sempat membuat gempar seluruh dunia muda ibuku, saat kariernya sebagai pengusaha batik menjadi sorotan umum tercemar dan bahkan seluruh keluarga di kucilkan. Lamunan terhenti ketika pria tersebut kembali memanggil ku dengan sebutan anak.

"Anakkuuu ...."

Sambil menyodorkan kedua tangannya, berharap aku, seorang Dita Maharani yang cantik nya sudah melanglang buana, akan tenggelam di dalam pelukannya.

'Sialan! Pede bener dia panggil aku dengan sebutan anak.' Batinku mulai tidak menyukai suaranya.

"Nak, kemarilah sayang."

"Who are you?" Jawabanku ketus, dengan mimik yang menyiratkan ketidaksukaan.

"Aku ayahmu ...." Kembali kedua tangannya merentang. Lalu berjalan ke arahku.

"Ayahku sudah meninggal."

Rasanya aneh saja, tiba-tiba ada seorang pria, yang mabuk kecintaan kepada anak, yang sudah di buang nya puluhan tahun lalu. Kemudian dia nampak memamerkan benda-benda berharga, yang dikeluarkan nya dari dalam kendaraan roda empat, yang di bawanya dari kota. Lalu muncul pula dua orang tua renta, membuka pintu mobil dan berjalan ke arahku. Kemudian memanggil nama panggilan akrabnya, dengan gaya sok kebarat-baratan.

"My grand daughter...."

Idihhh rasanya menjijikan melihat adegan yang tak biasa ini, walaupun usiaku baru saja menginjak usia remaja, namun sudah tidak lagi membutuhkan sosok ayah. Karier ku di dunia modeling sudah bisa membuat mama tidak kekurangan, bahkan aku juga tidak membutuhkan yang namanya kakek dan nenek yang baru, sebab bagiku hanya ada sepasang orang tua dari mama, yang melengkapi semua kebutuhan jasmani dan rohani.

Hanya bisa berlari ke arah taman, menghindari dari kenyataan yang sangat nyata di depanku. Dengan segala ritual busuk yang menyengat di Indra pendengaran. Apalagi saat para kameraman memusatkan perhatiannya, hanya di wajah pria, yang seharusnya di sebut dengan panggilan ayah.

"Anakkuuu ...." Kembali dia berdrama picisan.

Saat ini memang aku tidak bisa memanggilmu ayah, padahal karena sperma darinya lah, wujud ini terlahirkan ke dunia, walaupun kemiripan sifat dan paras diturunkan tanpa bisa menolak, apalagi memilih. Namun jiwa dan raga sudah menolak kehadirannya, bahkan sejak malam tahun baru, sepuluh tahun silam, saat ulang tahun yang keempat, yang mana aku terusir dengan sangat kejam. Tanpa welas asih. Dan hingga kini masih teringat bagaimana mimik mereka, saat mengusir ku.

"Nak, ini sepatu model terbaru, hanya baru ada di tiga negara saja. Dan ayah khusus membawakannya untuk mu."

Hampir saja aku terbujuk oleh benda-benda mahal yang dibawanya. Kalau saja tidak teringat, masa kerasku hidup di dunia ini, tanpa sosok seorang ayah, timbul rasa benci yang tidak bisa di lucuti dengan bujuk rayunya, apalagi harta benda yang mahal mahal itu, yang mana rupanya sengaja di keluarkan dari bagasi, demi untuk membuat pengakuan atas nama ayah di kartu keluarga kami.

Lalu wanita paruh baya yang lama ku sebut dengan istilah mama, mendekatiku dan mulai mengusap kepala, memberikan petuahnya.

"Nduk, Kebodohan itu jangan dipelihara, sebaiknya gunakan akal untuk membuat hidupmu lebih bernilai."

"Ma! Enak dong jadi pria itu? Datangnya hanya jika butuh saja. Cintamu buta dan tuli, hingga tidak bisa merasakan rasa sakitnya di telantarkan."

"Memaafkan seseorang adalah salah satu jalan yang akan membawamu menuju ke jalan yang lebih sukses lagi, Nak!"

"Tapi ...."

"Manusia yang berakal itu terbentuk, dari kumpulan ringkih, yang terbuat dari rasa sakit hati dan janji-janji manis, yang terus menerus diingkari, nduk."

"Pahitnya hidup sudah aku rasakan, Mam. Jadi tidak akan pernah berharap kepada bentuk manusia lagi, sekalipun dia adalah ayahku."

Aku meninggalkan mama setelah mencium punggung tangannya, untuk berpamitan menuju ke sekolah, lalu kembali menatap mereka semua nya, dengan pandangan penuh kebencian.

Dari kejauhan aku melihat mama membungkuk, sambil berbicara sangat sopan, tenang dan penuh ketulusan. Entah bagaimana pikiran dari keluarga ayah, yang pastinya akan membuat matanya akan berair pada akhirnya.

"Maafkan aku, Mas, ayah, ibu. Yang tidak bisa mendidik anakku." Sambil membungkukkan badannya ke arah pria separuh baya dan kepada kedua pasangan renta, yang tiba-tiba sudah berdiri di antaranya.

Melihat kondisi tersebut, memutar balik motorku lalu mulai berdrama sesuai dengan keinginan dari ayah.

"Maafkan aku Mama! Ayah ...."

Memeluknya dengan sangat terpaksa dan membisikkan kata kata yang membuat dirinya terkejut, hingga mulutnya terbuka dengan lebar.

"Hai bajingan!"

"Hahaha anakku, kau bisa saja sebegitu bercandanya."

"Yah aku pamit sekolah dulu ya!"

Mencium batang tangannya dan berjalan ke arah sepasang renta yang tidak lain orang tua dari ayahku. Memeluknya sambil berbisik, "Jangan pernah melukai ibuku! Sedikit saja air matanya tumpah, maka hidup kalian akan kubuatkan banyak air mata." Mereka hanya terdiam sejenak lalu menjawab, "kau pikir kami takut, dasar anak haram!"

"Kakek, apa perlu aku memutar vidio sepuluh tahun yang lalu?" Mengancamnya sambil tersenyum penuh kebencian.

"Jangan! Jangan lakukan itu, Dita. Maafkanlah kami." Nenek mencoba untuk mengontrol amarah suaminya dan juga aku.

Para media menyorot wajah kami, sebagai keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang. Dengan judul pertemuan tak sengaja itulah, pada akhirnya mereka singgah di rumah kami dan mencicipi masakan mama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar