Kamis, 03 September 2020

Axiom


Written by: Seputo Shirega
___________________________

Kicauan burung terdengar sangat jelas seolah mereka sedang terbang hanya beberapa meter saja di atas kepalaku. Tak hanya itu, hembusan angin begitu terasa menerpa tubuh seperti aku sedang terbang bersama burung-burung ini.


Lalu dengan perlahan aku mencoba membuka mataku dan tampaklah sebuah pemandangan kota pada siang hari yang begitu terik. Ratusan gedung pencakar langit menghiasi setiap sudut kota ini. Bahkan saat ini aku tengah berdiri di salah satu gedung pencakar langit yang paling tinggi.

Aku merinding saat ujung sepatuku hampir tak lagi menapak pada tembok pembatasnya. Dengan cepat aku mendorong tubuhku ke belakang karena  jatuh dari ketinggian seperti ini adalah akhir dari segalanya.

Kucoba berdiri lalu kembali menatap pemandangan kota itu. Mencoba mengingat-ingat apa yang membuat aku bisa berdiri di atap pencakar langit yang paling tinggi ini.

Namun usahaku sia-sia. Tak ada ingatan yang terbesit saat aku mencobanya. Semuanya terlihat hitam dan hanya sakit kepala yang kudapat jika aku memaksa mengingatnya.

Perlahan kulangkahkan kakiku meninggalkan tempat itu. Di ujung sana terdapat pintu bertuliskan 'Exit' di atasnya.

Ekspetasiku berbeda. Saat pintu itu kubuka, yang kujumpai hanya sebuah lorong pendek dengan ujung lorongnya terdapat tangga yang melika-liku sampai ke lantai terbawahnya. 

Tak ada pilihan lain. Aku memang tak menemukan apapun selain lorong sepi dan tangga ini. Dengan cepat aku menuruninya hingga aku sampai satu lantai di bawah atap tadi. Lalu memutar kemudian menuruni tangga ini lagi sampai aku benar-benar mencapai lantai terbawahnya.

Di bawah begitu sepi, beberapa kertas yang berterbangan menyambutku seolah tertiup angin. Aku yakin ini adalah lobby sebuah kantor perusahaan. Namun tak ada siapapun disini.

Ya, aku tak bisa mengingat apapun. Tentang bagaimana aku bisa berdiri di atas atap tadi semetara kantor ini terlihat sangat sepi.

Kucoba meraih gagang pintu keluarnya, namun itu terkunci. Lalu saat aku menoleh, terdapat sebuah pintu besi lain di ujung lorong. Beruntungnya, pintu besi itu tak terkunci.

Saat di luar aku pun kembali dibuat keheranan pasalnya hari tiba-tiba sudah malam padahal saat aku di atas tadi masih terasa panas teriknya. Menyadari bahwa saat ini aku berada di area belakang gedung ini, ku lirik kiri dan kanan namun tetap tak menemukan siapapun selain sebuah sepeda yang tersandar di tembok.

Dengan perasaan gelisah dan penuh tanda tanya aku menyusuri kota sepi itu sendirian bersama sepeda ini. Listrik tetap menyala, hanya saja seperti tak ada kehidupan disini.

Kerongkonganku yang terasa kering memaksaku untuk menghentikan sepedaku di sebuah supermarket. Siapa sangak akhirnya aku menemukan seseorang di kota ini. Dia adalah pemilik supermarket itu yang sedang merapikan meja kasirnya.

Dengan suasana hati yang gembira aku mengambil sebotol minuman soda lalu akan mengobrol sedikit dengannya tentang kota yang terlihat aneh ini.

Namun aku salah. Saat hendak membayar minuman ini, pemilik supermarket itu berbalik dan memperlihatkan kedua bola matanya yang hitam pekat menatap tajam ke arahku.

Seketika aku merinding, yang kulihat bukanlah sesosok manusia. Aku tak tahu pasti makhluk apa itu, yang jelas saat ini aku harus pergi menjauh dari tempat aneh ini.


Sangkin paniknya, aku sampai lupa untuk mengambil sepeda yang tadinya kuparkirkan.

Itu tak penting sekarang, tempat ini benar-benar aneh. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan makhluk apa tadi itu. Tapi yang jelas saat ini aku tak berani untuk berbalik.

Beruntungnya di sebuah sudut ruko aku melihat sepasang kekasih tengah asik berciuman. Aku pikir akan selamat jika meminta pertolongan mereka.

Namun, saat aku sudah sampai, yang kulihat justru hal menakutkan lainnya. Kedua mata pasangan itu juga menghitam pekat. Ketakutanku semakin menjadi-jadi. Aku berlari tanpa arah hingga memilih untuk memasuki sebuah toko permainan arcade yang kuyakin pasti ada seseorang di sana yang bisa menolongku.

Suasana sepi menyelimuti toko itu. Satu per satu mesin game yang di susun berjejer bermain dengan sendirinya tanpa ada yang memainkannya. Hingga saat berbelok disebuah game casino, dua orang berpakaian pegawai toko itu berdiri membelakangiku.

Berkali-kali kucoba memanggil mereka berdua namun tak ada jawaban sampai saat kuputuskan untuk mendekat, mereka berbalik dan lagi, kedua mata mereka hitam pekat.

Ini sudah tak masuk akal. Tempat ini ... bukan, kota ini benar-aneh. Semua manusia yang kutemui di kota ini terlihat seperti mayat hidup saja.

Aku pun berlari menuju pintu keluarnya. Namun sepertinya pikiranku telah di manipulasi. Seolah tempat ini membentuk sebuah labirin aneh.

Tak berpikir panjang aku memilih berlari lurus ke depan sampai menemukan pintu. Ya, meskipun bukan pintu keluar yang tadi, setidaknya aku harus keluar dari tempat ini dulu.

 Tak ada yang bisa kupercaya lagi. Semua orang yang kutemui pasti memiliki mata hitam menyeramkan itu. Apa arti semua ini? Mengapa aku bisa berada di kota aneh seperti ini?

Area belakang toko permainan arcade itu merupakan sebuah parkiran. Di tangga kulihat seorang tunawisma berjaket kuning tengah duduk sambil menghirup tembakaunya.

Siapapun dia, aku berani bertaruh dia juga salah satu dari mayat itu. Benar saja, saat dia mengangkat wajahnya dapat kulihat kedua bola matanya yang hitam pekat sedang menghembuskan asap tembakaunya.

Pikiranku kacau. Aku tak tau mau kemana. Meminta tolong bukanlah jalan terbaik, karena sejauh ini semua yang kutemui adalah mayat hidup. Satu-satunya pilihan yang tersisa hanyalah pergi dari kota ini sejauh mungkin.

Tapi sebelum itu aku membutuhkan kendaran yang lebih dari sebuah sepeda.

Sembari menghindari tunawisma yang kini hendak bangkit berdiri itu, aku memeriksa satu per satu mobil yang terparkir berharap ada satu mobil yang pemiliknya lupa melepas kuncinya.

Beruntungnya, aku menemukannya! Sebuah mobil sedan berwarna biru gelap. Saat kucoba beberapa kali untuk menyalakannya, mesinnya tak mau menyala, sementara tunawisma itu sudah berdiri di samping jendela sambil mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil ini dengan mata hitam pekatnya itu. Lalu saat percobaan kesekian akhirnya mesinnya menderu pertanda siap untuk berangkat.

Tanpa pikir panjang, aku menginjak pedal gas sekencang mungkin meninggalkan mayat hidup itu.

Dengan sebuah kendaraan, aku berjalan tanpa tujuan menyusuru jalanan kota yang sepi tak berpenghuni. Suasana kelam begitu terasa saat beberapa lampu etalase toko sesekali berkedip.

Hingga akhirnya perjalananku berhasil membawaku keluar dari perkotaan. Hanya ada ilalang di kiri dan kanan. Kabar buruknya bahan bakar mobil ini telah habis dan berhenti total di tempat paling tidak menguntungkan.


Aku terjebak dalam kondisi kian serius. Tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya aku memilih berlindung di dalam mobil sambil sesekali memandang sekitar berharap tak ada mayat hidup yang menyadari keberadaanku.

Cukup lama aku terjaga sampai akhirnya kelopak mataku memberat dan akhirnya membuatku tertidur di atas roda stir mobil ini.

*

Matahari terbit tepat di depanku. Cahayanya yang menyilaukan memaksaku untuk membuka kedua mataku.

Pagi telah tiba dan aku menyadari bahwa kondisiku saat ini sama saja. Tak punya tujuan dan tersesat tanpa makanan apapun.

Aku menatap kaca spion untuk mengumpulkan kembali kesadaranku sepenuhnya dengan cara menepuk-nepuk pelan kedua pipiku.

Namun sesuatu tak terduga terjadi. Sekelebat aku melihat di pantulan kaca spion mobil bahwa bola mataku berubah menjadi hitam untuk sesaat.

Sepertinya suatu virus secara tak sengaja menginveksiku ketika masih berada di kota aneh itu. Dan aku mulai menunjukkan gejalanya.

Jika memang, aku harus mencari bala bantuan secepatnya. Meski harus berjalan kaki, aku tak peduli. Setidaknya aku ingin seseorang menyelamatkanku. Aku tak mau mati seperti ini dan berubah menjadi mayat hidup seperti orang-orang di kota itu.

Jalan panjang kutempuh dengan berlari kecil. Aku tak tahu sekarang berada di mana. Hanya ada puluhan kincir angin yang berbaris di sepanjang bukit.

Tapi rasa letih, lapar dan haus begitu parah. Aku hampir berada di titik terlemahku. Melanjutkan perjalanan tanpa arah seperti ini hanya akan membuatku mati di tengah jalan. Mungkin aku harus mendaki bukit untuk bisa melihat kemana aku akan pergi selanjutnya.

Lalu aku memilih bukit paling tinggi agar semua daratan dapat terlihat dari atas sana. Hingga saat kakiku berhasil memijak puncaknya. Sebuah kenyataan yang selama ini kulupakan kembali kuingat.

Aku berdiri di atas bukit menatap sebuah panorama indah, yakni sebuah perkotaan kecil yang bangunannya dominan terbuat dari beton dan bata. Lalu dari kejauhan tampak sebuah Gunung yang puncaknya mulai mengeluarkan kepulan asap pekat.

Tak berselang lama, gunung itu meletus, awan panas, muntahan lahar-lahar berterbangan memporak-porandakan kota kecil itu.

Disinilah aku mendapatkan kembali semua ingatanku. Alasan mengapa aku berdiri si ujung atap pencakar langit itu adalah tempat dimana aku sedang berdiri saat ini.

Ya, aku yakin pencakar langit tempat aku tersadar itu ternyata dulunya adalah bukit tinggi yang saat ini kupijak. Orang-orang dengan mata hitam pekat yang kutemui di kota itu ternyata adalah korban dari letusan gunung api yang kini tengah kusaksikan kedahsyatannya.

Mereka sebenarnya mencoba menyadarkanku bahwa aku telah lama mati bersama-sama dengan mereka akibat erupsi parah gunung itu. Namun, karena aku tak mau mengakui bahwa aku sudah mati membuatku selalu hidup dalam bayang-bayang sampai sebuah perkotaan dengan pencakar langit dibangun di atas perkotaan yang dulunya telah rata dengan tanah itu.

Bodohnya aku yang lari dari kenyataan selama ini. Aku telah membohongi diriku sendiri dengan beranggapan bahwa aku masih hidup sampai zaman dimana sebuah peradaban modern telah muncul dan kota yang ternyata bernama Pompeii ini telah musnah 79 Masehi yang lalu bersama-sama dengan aku oleh sebuah letusan gunung bernama Vesuvius.

Ya, akhirnya aku bisa kembali ke alamku dengan tenang. Mulai saat ini aku tak lagi hidup dalam bayang-bayang. Itu artinya saat ini kedua mataku pasti telah berwarna hitam pekat.

TAMAT
_________
#story

Note: Jadi cerita ini saya angkat dari kisah nyata kota Pompeii. Namun alurnya saya terinspirasi dari Music Videonya Bastille dengan judul yang sama, yaitu Pompeii.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar