Senin, 08 Juli 2024

Kisah Akhir Hidup Jaka Tingkir Perang dengan Anak Angkatnya Sutawijaya

 

 
 
RAJA Pajang Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijaya di akhir hidupnya berseteru dan perang dengan anak angkatnya, Sutawijaya, Raja Mataram bergelar Panembahan Senopati. Jaka Tingkir sewaktu kecil dipanggil dengan nama Mas Karebet. Dalam kitab Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa saat lahir ada pertunjukan wayang di rumahnya yang berada di kawasan Pengging, Lereng Gunung Merapi. Dia merupakan cucu dari Sunan Kalijaga yang berasal dari daerah Kadilangun.
Jaka Tingkir yang memiliki ilmu beladiri dan kesaktian kemudian memutuskan untuk mengabdi ke Kerajaan Demak yang saat itu dipimpin Sultan Trenggono. Dalam perjalanan menuju Demak, Jaka Tingkir menggunakan rakit dari bambu dan harus menyeberangi sungai yang salah satu daerahnya disebut Kedung Srengenge. Saat itu Jaka Tingkir dihadang sekawanan buaya penghuni Kedung Srengege yang jumlahnya kurang lebih 40 eko. Namun berkat kesaktian dan kekuatan gaib dari timang ikat pinggang Kiai Bajulgiling pemberian Ki Buyut Banyubiru, Jaka Tingkir berhasil mengalahkan kawanan buaya tersebut. Buaya yang semula buas beringas seketika menjadi lemah dan akhirnya tunduk pada Jaka Tingkir. Bahkan empat puluh buaya ekor buaya itu menjadi pengawal perjalanan Jaka Tingkir selama menyebrangi Kedung Srengenge dengan berenang di kiri-kanan, depan dan belakang rakitnya.
Hingga akhirnya Jaka Tingkir mengabdi kepada Raja Demak, Sultan Trenggono. Setelah mengabdi yang penuh dengan lika-liku dan berbagai kejadian yang dialami serta sejumlah prestasi, maka Jaka Tingkir kemudian diangkat menjadi Adipati Pajang dengan gelar Hadiwijaya. Pajang merupakan daerah yang sekarang menjadi kawasan Kartasura, Sukoharjo, Surakarta di Jawa Tengah. Saat Sultan Trenggono wafat pada 1546, terjadi kekacauan setelah Adipati Jipang (daerah Cepu), Aryo Penangsang membunuh putra mahkota Kerajaan Demak, Sunan Prawoto yang merupakan saudara sepupunya. Arya Penangsang membunuh Sunan Prawoto untuk balas dendam karena ayahnya Pangeran Sekar Seda Lepen dibunuh sewaktu ia menyelesaikan salat Ashar di tepi Bengawan Sore. Diketahui Pangeran Sekar Seda Lepen merupakan kakak kandung Sultan Trenggana serta murid pertama Sunan Kudus. Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri, yang merupakan suami dari Ratu Kalinyamat, penguasa Jepara. Pembunuhan dilakukan dengan menggunakan keris sakti Kiai Setan Kober. Selanjutnya Arya Penangsang ingin membunuh Jaka Tingkir di Pajang. Namun upaya pembunuhan ini mengalami kegagalan. Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto yang marah karena suaminya (Pangeran Hadiri) dibunuh kemudian meminta Jaka Tingkir agar menghabisi Arya Penangsang. Hal itu lantaran Jaka Tingkir memiliki kesaktian yang seimbang dengan Arya Penangsang. Dengan cerdik, Jaka Tingkir yang menjadi Adipati Pajang mengadakan sayembara, siapa pun yang dapat mengalahkan Arya Penangsang akan mendapatkan hadiah tanah di Pati dan alas Mentaok. Sayembara itu akhirnya diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Saat perseteruan dengan Arya Penangsang, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil menyusun siasat cerdik.
Hingga akhirnya Sutawijaya (anak Ki Ageng Pemanahan) dapat menewaskan Arya Penangsang setelah menusukkan tombak Kyai Plered. Tombak ditusukkan ke tubuh Aryo Penangsang yang saat itu mengendarai kuda jantan Gagak Rimang dan tengah menyeberang Bengawan Sore.
Usai perang saudara yang berakhir dengan terbunuhnya Arya Penangsang pada 1549, pusat kerajaan Demak dipindah ke Pajang. Jaka Tingkir kemudian menjadi rapa pertama Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Sedangkan Demak berubah menjadi kadipaten dengan anak Sunan Prawoto diangkat menjadi adipati. Sultan Hadiwijaya tak melupakan janjinya dalam sayembara. Ki Ageng Pemanahan diberi hadiah tanah alas Mentaok di daerah Mataram, sedangkan Ki Penjawi juga diberi hadiah di daerah Pati. Sutawijaya (putra Ki Ageng Pemanahan) yang berhasil mengalahkan Arya Penangsang kemudian diangkat sebagai anak angkat Sultan Adiwijaya dan menjadi saudara Pangeran Benawa yang merupakan putera mahkota Kesultanan Pajang. Ki Ageng Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang bersaing dengan Pajang. Setelah Ki Ageng Pemanahan meninggal pada tahun 1575 ia digantikan putranya, Sutawijaya yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Suatu hari, Raden Pabelan yang menjadi keponakan Sutawijaya akan dihukum mati karena kedapatan menyelinap ke Keputren. Hal itu ia lakukan untuk bertemu dengan Ratu Sekar Kedaton atau putri bungsu Sultan Hadiwijaya. Sultan Hadiwijaya pun merasa disepelekan. Raden Pabelan ditangkap dan dihukum mati. Kondisi makin memanas setelah Sutawijaya yang menguasai Mataram sudah lama tidak sowan kepada ayah angkatnya Sultan Hadiwijaya. Kasultanan Pajang yang dipimpin Sultan Hadiwijaya bersiap menyerang Mataram dengan ibu kota di Kotagege (kawasan Jogjakarta) karena dianggap makar. Perang antara Kasultanan Pajang dan Mataram tidak bisa dihindarkan. Sultan Hadiwijaya naik gajah memimpin pasukannya menyerbu Mataram. Saat perang terjadi, tiba-tiba Gunung Merapi yang letaknya tidak jauh dari posisi mereka, tiba-tiba meletus. Laharnya turun melewati Sungai Opak dan menghantam tenda-tenda milik prajurit Kerajaan Pajang. Banyak prajurit Sultan Hadiwijaya yang menjadi korban letusan Gunung Merapi. Melihat hal itu, Sultah Hadiwijaya atau Jaka Tingkir menarik mundur para pasukannya. Dalam perjalanan pulang ke Pajang, Sultan Hadiwijaya mampir ke makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat Klaten. Anehnya, gerbang makam tersebut tidak bisa dibuka. Karena kejadian itu, Sultan Hadiwijaya merasa ajalnya sebentar lagi. Ternyata hal itu terbukti saat Sultan Hadiwijaya terjatuh dari gajah yang ditumpanginya. Setelah kejadian itu kesehatan Sultan Hadiwijaya menurun.
Sultan Hadiwijaya memanggil anak-anaknya, termasuk Pangeran Benowo. Jaka Tingkir berpesan kepada anak-anaknya untuk tidak menaruh dendam kepada Sutawijaya atau Panembahan Senapati. Sebab Sutawijaya merupakan anak angkat dari Sultan Hadiwijaya. Tak lama kemudian, Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir wafat dan dimakamkan di Desa Butuh, Sragen, Jawa Tengah.


Sabtu, 06 Juli 2024

Weton Tulang Wangi dan Malam Satu Suro

 


Weton tulang wangi sendiri juga dikenal dengan beberapa nama lain, seperti balung wangi, tulang renggang, darah manis, balung kuning, dan sebagainya. Orang-orang dengan weton ini memiliki daya tarik bagi makhluk astral yang dipercaya ada di sekitar kita.
Dilahirkan dengan kemampuan untuk merasakan atau melihat hal supranatural, orang-orang bisa melihat apa yang tidak terjangkau indera manusia biasa. Adanya sensitivitas ini yang kemudian menyebabkan makhluk astral 'menyukai' mereka, dan jadi alasan mengapa tidak boleh keluar di malam 1 Suro. Malam 1 Suro sendiri dipercaya jadi momen ketika pintu dunia astral dibuka lebar, dan makhluk di dalamnya keluar untuk mencari korban.
Salah satu ketakutan yang muncul dari masyarakat Jawa untuk orang-orang dengan weton ini saat malam 1 Suro adalah mereka akan mudah terganggu dan merasakan kehadiran atau interaksi. Dipercaya ketika seseorang tidak memiliki kekuatan mental atau batin yang baik, hal ini bisa memicu berbagai gangguan kejiwaan atau membawa petaka.
Ada setidaknya 11 weton yang masuk ke dalam kelompok atau kategori tulang wangi ini. Jika Anda termasuk salah satu diantaranya, maka bisa jadi Anda memiliki sensitivitas tinggi pada kehadiran makhluk gaib.
• Sabtu Wage
• Sabtu Legi
• Minggu Pon
• Minggu Kliwon
• Senin Kliwon
• Senin Wage
• Selasa Legi
• Rabu Pahing
• Rabu Kliwon
• Kamis Wage
• Senin Pahing
Sakit-sakitan Menjelang Malam Satu Suro
Orang yang memiliki Weton Tulang Wangi sering mengalami sakit-sakitan jika Malam Satu Suro tiba.
Sakit-sakitan menjelang Malam Satu Suro terjadi lantaran adanya benturan energi yang besar, yang hanya bisa dirasakan serta berdampak pada orang dengan Weton Tulang Wangi.
5 Ciri Orang dengan Weton Tulang Wangi
Selain sering sakit-sakitan menjelang Malam Satu Suro, ada 5 ciri lainnya orang dengan Weton Tulang Wangi, seperti dilansir dari kanal YouTube ESA Production pada Rabu (26/6).
Simak yang berikut ini.
1. Peka
Ciri yang pertama dari orang yang memiliki Weton Tulang Wangi adalah peka.
Orang dengan Weton Tulang Wangi cenderung peka terhadap getaran-getaran atau energi- energi tertentu di luar dirinya, khususnya yang disebabkan oleh makhluk gaib.
2. Mendapatkan Gangguan dari Makhluk Gaib
Seseorang dengan Weton Tulang Wangi akan sering mendapatkan gangguan dari makhluk gaib.
Makhluk gaib diyakini memiliki energi dan tingkatan yang berbeda.
Jika makhluk gaib yang mendekati Weton Tulang Wangi memiliki energi negatif, maka energi tersebut akan memengaruhi perilaku orang dengan Weton Tulang Wangi.
Energi negatif dari makhluk gaib bisa menumbuhkan jiwa perusak, rasa malas, kecemasan, dan ketakutan dalam diri Weton Tulang Wangi.
Oleh karena itu, orang dengan Weton Tulang Wangi harus memiliki seorang pembimbing, sehingga bisa menghindari makhluk-makhluk gaib yang dianggap memiliki energi negatif.
3. Gerbang Gaib Terbuka
Jika seseorang terlahir dengan Weton Tulang Wangi, maka dipercaya bahwa gerbang gaibnya telah terbuka.
Terkadang, Weton Tulang Wangi bisa memasuki alam gaib dan melihat makhluk- makhluk astral.
4. Merasa Diawasi
Weton Tulang Wangi kerap merasa diawasi dan diikuti oleh para makhluk gaib di mana saja ia berada.
Makhluk gaib yang mengawasi orang dengan Weton Tulang dapat dirasakan kehadirannya.
5. Mempunyai Banyak Khodam Penjaga
Weton Tulang Wangi dipercaya memiliki khodam penjaga yang jumlahnya bisa lebih dari satu.
Jika orang dengan Weton Tulang Wangi sudah berada di tingkatan tertinggi, maka ia dapat menarik makhluk astral untuk datang kepadanya.